Kamis, 19 Maret 2015

Cerita Kedua

“emm. Yaudah ya Dion. Aku masuk dulu. Makasih ya buat semuanya.” Dalam hati benar – benar aku ingin memeluknya. Ku lepaskan tangannya, dan mulai masuk ke rumah. Sesampainya di depan pintu rumah aku berbalik dan melambaikan tanganku ke arahnya. Segera dia menghidupkan mesin dan kemudian pulang.
“Ibu tidak suka kamu pacaran dulu, Kia. Kamu masih 15 tahun. Belajar dulu, jangan pacaran.” Kata Ibu yang sedang asyik dengan sulamannya yang sudah hampir selesai.
“Kia nggak pacaran kok bu. Dion Cuma temen Kia.” Jawabku sambil jalan masuk ke kamar.
“Teman tapi ehem.” Canda Mas Danar.
“Apa sih mas? Gak lho bu.” Jawabku yang kemudian masuk kamar untuk berganti pakaian.
“Kia, bagaimana dengan rencana pertukaran pelajarmu ke Jepang? Jadi ?” tanya ibu saat kami bertiga sedang sarapan di meja makan.
“Maaf ya Kia, Mas ndag bisa bantu kamu. Mas ini juga lagi pusing mikirin pernikahannya Mas.” kata Mas Danar.
“Nggak apa kok Mas, Bu. Dion sudah bersedia membantuku. Ayahnya yang akan membiayai 30% biayanya bu.” Jawabku.
“benar Kia? Tapi Dion tidak memaksa Ayahnya kan ?” tanya Ibu tak percaya.
“Nggak, Bu. Dion hanya cerita masalah ini sama Ayahnya. Dan ayahnya dengan senang hati mau mebantuku. Bahkan passportku hari ini bisa aku ambil. Maaf aku belum sempat cerita sama Ibu sama Mas Danar. Soalnya baru kemarin Dion mengajakku buat passprotnya.” Jawabku.
“Alhamdulilah ya, Nak. Kamu dijemput Dion hari ini?” tanya Ibu bersemangat.
“Iya Bu.” Jawabku.
“jangan berangkat dulu. Suruh dia nemuin Ibu.” Jawab Ibu.
Tak lama kemudian. Suara motor Dion pun terdengar. Perasaan tak tentu mulai terasa kembali. Ingatanku kembali pada peristiwa malam itu. Siap tidak siap aku harus menemui dia. Ku langkahkan kakiku keluar rumah. Perasaan bahagia bercampur dengan rasa gelisah yang luar biasa. Sepertinya ini cinta.
“Emm, Dion. Kamu dipanggil ibu. Ibu ingin bicara sama kamu sebentar.” Kataku sambil terbata – bata.
“Kenapa ya Cantik? Haduh apa gara – gara semalam?”
“astaga..” teriakku dalam hati. Dia masih mengingatnya. Mukaku mulai memerah.
“Nggak tau lah. Pokoknya kamu dipanggil. Sana buruan.” Kataku sambil mendorongnya menuju pintu rumah.
“Kia, mas berangkat dulu ya.” Ucap mas Danar yang sudah rapi siap berangkat ke tempat kerjanya. “Kamu sudah besar ya Dion? Lama aku gak liat kamu ke sini. Kalo pacaran yang bener. Jagain adikku, jangan dinakalin.” Kata Mas Danar yang membut tingkahku menjadi kalang kabut.
“Apaan sih Mas Danar. Sudah berangkat sana. Telat telat.” Segera ku cium tangannya dan mendorongnya menuju motornya.
“Siap Mas. Habis lulus mau langsung tak lamar pokoknya. Hahaha.” Jawab Dion sambil setengah bercanda kepada Mas Danar.
“Hih, kamu juga apa – apaan? Main lamar – lamar aja. Emang aku mau sama kamu? Idih pede banget.” Jawabku yang berusaha menyembunyikan perasaanku yang sesungguhnya. “sudah masuk sana. Sudah ditungguin ibu.”
“Dion, ibu terima kasih sekali. Kamu dan keluargamu begitu baik sama saskia. Tapi Ibu belum tentu bisa balas kebaikanmu dan keluargamu lho Dion.” Kata Ibu sambil menepuk bahu Dion yang kekar itu.
“Tidak apa kok, bu laela. Ayah dengan senang hati bantu saskia. Saskia kan anak yang pintar. Dia pantas mendapatkan ini semua, Bu. Lagipula saya juga tidak ingin ke Jepang sendiri.” Jawab Dion yang membuatku kaget bukan kepalang.
“Dion juga ikut ke Jepang?” kagetku dalam hati. Rasa senang yang luar biasa tiba – tiba datang dan membuat rona merah di kedua pipiku.
“Lho, Ibu kira hanya Saskia saja yang ke Jepang. Kamu juga ya?” tanya Ibu.
“Iya kok Ibu. Juara 1 dan 2 yang akan menerima pertukaran pelajar ke Jepang.” Jawabnya yang sudah mulai cemas, karena jam sudah menunjukkan pukul 6.45.
“Yasudah. Begitu saja Dion. Salam buat Ayahmu. Besok – besok kalau ada waktu Ibu akan meluangkan diri ke rumahmu ya Nak.” Jawab Ibu. “sudah sana berangkat keburu telat.”
“Iya bu. Assalamaualaikum.” Ucapku dan Dion bersamaan.
Setelah ku cium tangan Ibuku yang sudah mulai renta itu. Aku segera berlari menuju Dion. Aku masih penasaran apakah benar kita akan berangkat ke Jepang bersama – sama.
“Eh, kamu kok gak bilang sama aku kalau kamu juga mau ke Jepang?” tanyaku terus mendesak.
“Sudah jawabnya nanti aja, keburu terlambat. Cepat naik.” Jawabnya terburu – buru.
Sesampainya di kelas aku langsung menghampiri Vera bagaikan singa yang ingin menerkam mangsanya.
“kamu tahu masalah Dion juga mau ke Jepang juga gak sih Ver?” tanyaku kepada Vera penasaran saat kita sedang menghabiskan jam istirahat di kantin.
“ha? Masa sih? Aku gak tau, Ki. Aku baru tahu malah. Bohong tu dia. Kata Pak Setya kan hanya satu yang berhak ikut pertukaran pelajar ke Jepang. Yaitu yang juara umum kan? Baru kalau dia tidak bersedia bisa diturunkan ke Juara dua,” jawab Vera sambil mengunyah siomay yang sudah hampir habis.
“haduh. Dasar anak papa. Pasti dia merengek sama ayahnya biar bisa ikut ke Jepang sama aku tuh.” Jawabku dengan kesal sekaligus senang. “tapi yasudahlah. Aku malah ada teman di sana.”

Hari itu pun datang. Untuk jangka waktu satubulan ke depan aku akan berada di Jepang untuk melakukan pertukaran pelajar. Siapa yang sangka anak yatim piatu yang diasuh oleh seorang istri purnawirawan bisa naik pesawat pergi ke Jepang ditunjuk oleh sekolah untuk menjadi perwakilan pertukaran pelajar. Mungkin Tuhan sedang memberi ku ganti dari apa yang tidak aku miliki kala aku kecil.
“Hati – hati ya, nak. Ibu selalu medoakan keselamatanmu. Kamu jangan khawatir Mas Danar nemenin Ibu di rumah. Jangan lupa sering – sering kasih kabar ke Ibu. Ibu akan merindukanmu.” Kata Ibu yang sudah mulai meneteskan air mata.
Ku peluk ibuku erat. Bahkan satu kata pun tidak bisa keluar dari mulutku. Ibu sangat menyayangiku. Hingga aku lupa akan kasih sayang seorang Ibu kandung.
“Dion akan jaga saskia, Bu. Ibu jangan khawatir.”kata Dion sambil merangkulku yang sudah mulai menangis sejadinya – jadinya.
“Kia sayang Ibu. Satu bulan akan terasa lama kalau tidak ada Ibu. Kia janji akan sering – sering hubungi Ibu.” Kataku dengan meyakinkan Ibu kalau aku akan baik – baik saja selama di Jepang. “Om,terima kasih banyak buat bantuannya ya Om, entah bagaimana Kia membalasnya.” Kataku kepada Ayah Dion yang begitu baik kepadaku sejak aku masih kecil.
Dion memang anak papa. Sejak kecil Ibu Dion telah pergi meninggalkan Dion entah kemana. Jadi kehidupan Dion hanya berdua dengan ayahnya. Papa Dion mengetahui seberapa besar keinginan Dion untuk bisa bersamaku. Bahkan pernah suatu hari Ayah Dion datang ke panti untuk melamarku untuk Dion. Namun saat itu usiaku masih 12 tahun lagipula Ibu menilai bahwa hal itu adalah hal terkonyol. Dan akan membuat masa depanku tidak menjadi apa yang ku mau.

“Mas Anjar bukain pintu. Sepertinya ada tamu di luar.” Teriakku dari dapur sambil membantu Ibu menyiapkan makan malam.
“aku lagi sibuk ah.” Jawab Mas Anjar yang sedang sibuk mengerjakan PR dengan mas Danar.
Dengan kesal aku pergi ke pintu depan. Tak lupa aku menghampiri Mas Anjar hanya untuk memukulnya. Aku dengan Mas Anjar memang tidak pernah akur. Beda dengan Mas Danar yang selalu mengalah.
“wuu. Malesss..” kataku sambil menarik rambutnya.
“Dasar manja. Awas kamu!!!” teriak mas Anjar yang berusaha mengejarku.
“Ibu, Mas Anjar nakal.” Jawabku menghindar.
“Kia, jangan  nakal sama mas mu. Sudah sana bukain pintu. Keburu orangnya pergi.” Teriak Ibu dari dapur. “Sudah, Njar. Adikmu memang nakal. Belajar lagi sana.”
“weeekk” ejekku kepada mas Anjar yang sudah mulai kesal dengan tingkahku.
Segera ku berjalan ke arah pintu dan membuka pintu.
“Assalamualaikum.” Salam seorang Pria baya dengan pakaian rapi berdasi. Ku lihat mobil terpakir di halaman rumah. Aku rasa pria ini adalah orang kaya.
“Walaikumsalam. Silakan masuk Pak. Saya panggilkan Ibu dulu.” Segera aku masuk ke dapur.
“Ibu, ada tamu orang kaya. ibu jangan biarkan aku apa mas Danar diadopsi Bapak itu, Bu. Kia ndag mau. Mas Anjar saja gak apa Bu. Hehe” kataku sambil nyengir.
“Hush, ngawur kamu.” Kata ibu yang kemudian berjalan keluar. “Lanjutin goreng tempenya sana itu.”
“Iya Bu.” Jawabku.
Setelah ibu keluar. Aku mematikan kompornya dan mengendap – endap di balik tembok untuk meenguping pembicaraan Ibu. Bukan karena aku kurang ajar. Tapi aku tidak mau kejadian waktu ada seorang Bapak yang hendak membawaku ke Jakarta itu terulang. Tapi aku percaya bahwa Ibu tidak akan melakukan hal tersebut.
“Asalamualaikum, Bu.” Salam bapak itu berdiri dan mengulurkan tangan kepada Ibu.
“Walaikumsalam.” Jawab Ibu membalas salam Bapak tersebut. “silakan duduk, Pak. Maaf, bapak siapa? Ada perlu apa datang kemari, Pak?” tanya Ibu sambil duduk.
“Begini Bu. wah saya tidak enak sebenarnya ini. Jadi kedatangan saya kemari sebenarnya atas kemauan anak saya satu – satunya, Bu. mungkin ini terdengar tidak masuk akal. Tapi saya hanya memiliki satu anak. Dan saya sangat menyanyangi putra saya.” Jawab Bapak itu.
Pikiranku semakin tidak menentu. Apakah benar – benar ada salah satu diantara kita yang akan diadopsi  oleh Bapak tersebut atau bapak tersebut akan menitipkan anaknya di rumah ini juga.
“Lalu pak?” tanya Ibu menyadarkan lamunanku sejenak.
“Jadi itu anak saya yang baru berusia 12 tahun. Namanya Dion, dia tertarik sama anak perempuan Ibu yang bernama Saskia. Dia terus membujuk saya agar bisa membuat dia bisa selalu sekelas dan sebangku dengan saskia. Ya karena saya begitu menyayanginya. Satu pun keinginannya tidak ada yang tidak bisa saya penuhi, Bu. jadi saya harus ke sekolah untuk bicara dengan pihak sekolah dan memalukan diri saya sendiri untuk anak satu – satunya yang saya miliki tersebut. Sama dengan saat ini. Anak saya meminta saya menemui Ibu dia merengek agar saya bisa membuat Saskia untuk bisa menyukai anak saya. Tuh anak saya ada di mobil.” Jawab Bapak itu setengah tidak enak sambil menunjuk mobil yang ada di luar tersebut. “saya sudah mencoba memberi pengertian anak saya kalau dia masih kecil tidak sepantasnya seperti itu. Tapi dia bilang, yasudah Pa. Minta Ibunya Saskia buat jaga Saskia buat aku. Biar besok kalau aku sudah besar, aku bisa sama Saskia. Entah apa yang dipikarannya Bu. tapi saya tidak bisa bilang tidak sama anak saya tersebut.”
Kaget yang bukan kepalang. Rasa kagum sama Bapak tersebut tiba – tiba hilang dan aku langsung membayangkan muka Dion yang selalu merengek untuk bisa terus sama aku.
“Aduh Bapak. Bukannya gimana – gimana, tapi mereka berdua kan masih kecil. Tidak sewajarnnya kalau Bapak melamar Saskia untuk anak Bapak. Tapi saya hargai kedatangan Bapak ke sini. Saya akan coba berbicara dengan anak Bapak. Setidaknya dia tahu bahwa ayahnya sudah menepati janjinya untuk datang kemari dan menemui saya. Mari pak saya ingin berbicara dengan anak Bapak.” Jawab ibu yang kemudian berdiri keluar ke arah mobil tersebut.
Entah apa yang mereka bicarakan. Setelah itu mobil itu pergi dan Ibu masuk kembali ke dapur. Karena tidak ingin aku ketahuan menguping, aku segera kembali ke dapur untuk menggoreng tempe tadi yang sempat ku tinggal. Ibuku pun tidak membahas hal tersebut dan aku juga tidak menanyakan apapun tentang hal itu.

“Ayo, Kia. Aku gak mau kita ketinggalan kereta, terus ke Jakarta jalan kaki gitu. Gak masalah kalau kamu yang mau gendong.” Ajak Dion yang seketika mengangkat kembali semangatku untuk pergi ke Jepang.
Ku cium tangan Ibu, Mas Danar, guru pembimbing dan Om Wira. Aku pergi melangkah ke dalam stasiun keberangkatan. Ku balikkan badanku dan melambaikan tanganku ke arah mereka. Dion menggandengku dengan erat. Ku lihat matanya ada keyakinan bahwa kita berdua akan baik – baik saja berada di sana. Seluruh perlengkapan yang ku perlukan telah dipersiapkan Vera. Bahkan termasuk jaket yang saat ini ku pakai. Namun hari ini dia tidak bisa mengantar kepergianku karena Dia harus menghadiri pesta pernikahan saudaranya di Surabaya.
Kami berangkat ke Jepang melalui Jakarta. Dari pekalongan kita naik kereta ke Jakarta lalu ke Bandara untuk terbang menuju Jepang. Ini adalah kali pertama aku berpergian jauh seperti ini. Bahkan melihat Jakarta pun hanya satu kali yaitu pada saat study tour waktu SMP.         
Perjalanan panjang Indonesia Jepang membuat aku jet lag. Delapan jam berada di pesawat membuatku bahagia sekaligus lelah. Sesampainya di Jepang kami langsung menuju KBRI di Tokyo. Di sini kami akan tinggal bersama keluarga Heitachi Taigichi dan Mitsumi Kurokawa. Mereka adalah saudara yang akan menemani kami selama satu bulan ke depan di Jepang.
Ohayo gozaimasu. Watashi wa Heitachi Taigichi. Hajimemashite. Doumo arigatou onegaishimasu.” Kata seorang laki – laki muda seusia kami sambil membungkukkan separuh badannya.
“Apa yang dia bilang, Kia? Aku gak ngerti sama sekali.” Tanya Dion kepadaku.
Doumo. Watashi wa Saskia Ananda. Arigatou gozhaimasu.” Jawabku.
“Astaga. Bakal kayak orang blo’on aku di sini.” Kata Dion dengan muka bingungnya.
“Makanya kalau gak bisa bahasa Jepang gak usah sok sok an ikut segala. Hahaha.” Jawabku dengan tawa ejekan kepadanya.
“Isss. Kamu ini.” Jawab Dion cemberut.
I’m so sorry if my brother make you confuse. You can talk with us by English.” Jawab perempuan Jepang tersebut. “My name is Mitsumi Kurokawa. Nice to meet you.”
“Alhamdulilah. Hello, nice to meet you too. My name is Diondi Pratama.” Jawab Dion dengan senyum lebarnya yang terlihat sangat lega karena dia akhirnya tidak merasa seperti orang bodoh di sini. Meskipun aku juga sama – sama tidak terlalu banyak mengerti bahasa Jepang.
Setelah kami bertemu dengan duta besar Indonesia di sana dan berbincang dengan dua teman Jepang baru kami. Setelah makan siang dan mengurus semua keperluan kami selama di Jepang. Kami segera menuju rumah singgah kami yang ditempati Kurokawa dan Taigichi.
Rumah yang kami tempati tidak begitu besar dan sepertinya bukan rumah permanen yang terbuat dari tembok. Seperti yang saya baca di internet di Jepang rumah dibuat tidak permanen karena di Jepang rawan gempa. Rumah tingkat dua yang minimalis ini terlihat bersih dan rapi seperti rumah – rumah yang aku lihat di kartun Doraemon dan komik – komik yang sering aku baca.
“Selamat datang. Apa kabar?” Sapa seseorang wanita jepang setelah membukakan pintu untuk kami. Ternyata beliau adalah ibu dari Mitsu Chan (Panggilan untuk mitsumi kurokawa). Beliau belajar bahasa Indonesia lewat internet untuk menyapa kami.
“Baik. Terima kasih.” Jawab Dion dengan cepat tanpa mempedulikan ibu tersebut yang kebingungan.
“I’m sorry I just learn Bahasa and only selamat datang and apa kabar that I know. Hehehe.” Jawab ibu tersebut dengan tersenyum malu.
“Hahaha. Yes we  know maam. We are good, thank you.” Jawabku dengan tertawa kecil.
“Okay. Come in. You must be tired after your long trip.” Ajak ibu tersebut.
“yes we are maam.” Jawab Dion yang tidak bisa menyembunyikan rasa kantuknya karena kelelahan selama di perjalanan.
“Hita, bring Dion to rest in your room. Saskia, you sleep with Mistumi, okay?”
(Hita panggilan untuk heitachi)
“Yes maam.” Jawabku.
Kami lalu ke kamar kami masing – masing yang telah diatur oleh Nonya Hinagana, orang tua hita chan dan mitsu chan. Di kamar aku bercerita mengenai hidupku yang yatim piatu dan dibesarkan oleh seorang ibu yang baik hati. Mitsu chan mendengar ceritaku dengan sungguh – sungguh dan mengatakan bahwa aku gadis yang beruntung.

Selama aku di Jepang aku hanya dua kali menghubungi ibuku karena tarifnya sangat mahal. Tak terasa satu bulan kami di Jepang dan kami merasa sangat bahagia dan antusias untuk kembali ke Indonesia dengan membawa sejuta cerita. Kami disibukkan dengan acara sekolah dan liburan akhir pekan dengan keluarga Hinagana.
Aku meninggalkan panti asuhan dan pergi ke Surabaya. Karena aku diterima oleh sebuah perusahaan Jepang yang ada di sana. Walaupun hanya sebagai staff tapi aku sangat bahagia karena pada akhirnya aku bisa mendapatkan uang hasil jerih payahku sendiri. Dengan prestasiku waktu SMA aku dikirim ke Jepang itu membantuku dengan mudah ditermia di perusahaan ini. Meskipun aku tidak tega meninggalkan ibuku yang semakin tua. Namun aku yakin ibuku pasti juga akan bangga padaku.
Setelah mendengar aku akan bekerja di Surabaya. Mas Danar berencana mengajak istrinya untuk tinggal bersama ibu. Mas Anjar pun berjanji akan semakin sering mengunjungi ibu. Jadi aku lebih tenang dengan pekerjaanku nanti di sana. Beruntung aku memiliki kakak- kakak yang begitu perhatian. Meskipun kita semua berbeda darah daging tapi kami saling menyayangi satu sama lain.
“Hai. Maaf, sudah lama menunggu.” Sapa Dion yang datang menemuiku di stasiun sebelum keberangkatanku menuju Surabaya.
“Hai. Aku juga baru saja sampai.” Jawabku dengan senyum yang ku paksakan. Mataku sembab karena tangisanku meninggalkan ibu. Sekarang aku harus menangis karena harus berpisah dengan Dion dan Vera.
Dion danVera mereka sama – sama berhasil masuk ke univrsitas yang mereka inginkan. Dion berhasil masuk di Jurusan Teknik Pertanian ITB dan Vera berhasil masuk di Jurusan Kedokteran UI. Mereka sungguh sangat beruntung.
Saat ini Vera sudah berada di Jakarta karena sebentar lagi dia harus mulai kuliah. Dion baru akan berangkat besok untuk menuju Bandung. Dan aku sendiri menuju Surabaya. Kami berpisah untuk jangka waktu yang cukup lama. Mungkin mereka akan pulang ke Pekalongan enam bulan sekali waktu libur akhir semester.
“Apa kamu baik – baik saja?” Tanya Dion sambil mengadahkan mukaku dengan mengangkat janggutku dengan jarinya yang masih terasa lembut.
“Hmm. Iya aku baik – baik saja. Hanya tadi aku sangat sedih harus meninggalkan ibu.” Jawabku menyingkirkan tangannya di janggutku yang kemudian ke pegang tangannya erat – erat. “Aku juga sedih harus berpisah denganmu.” Terusku yang kemudian air mulai menetes dari mataku.
“Kita akan baik – baik saja. Percayalah.” Jawab Dion menenangkanku. “aku akan sering meneleponmu. Kita juga bisa menggunakan skype. Meskipun aku juga akan sangat merindukanmu, Cantik.”
“Sudah lama kamu tidak memanggilku Cantik.” Jawabku sambil tersenyum meskipun hati masih terasa sakit.
“Cantik, cantik, cantik, cantik” goda Dion untuk menghiburku.
“Cukup Dion.” Teriakku sambil tersenyum lebar.
“Nah gitu dong. Senyummu itu yang membuatku semangat.” Kata Dion dengan menempelkan kedua tangannya di pipiku.
#teng teng teng teng. Jalur 1. Jalur 1 akan kedatangan Kereta Api Argo Anggrek dari Stasiun Gambir Jakarta menuju Stasiun Turi Surabaya. Bagi penumpang yang akan memiliki tiket silakan segera memasuki kereta. Saya ulangi …#
“Hei. Keretamu sudah datang.”
“iyaa. Keretanya sudah datang.” Dion melepaskan tangannya dari pipiku. Dia tersenyum dan membantu mengangkatkan barangku.
“Kamu bisa membawanya sendiri?”Tanya Dion.
“Iya aku bisa. Daah.” Ku ambil barang – barangku dari tangannya. Dan bergegas menuju peron.
Aku tak tahu apa yang ku rasakan. Hatiku benar – benar hancur. Ada rasa sakit di dada. Tak kuasa air mata pun mengalir. Ku letakkan semua barang –barangku. Aku memutar badanku berlari menuju Dion yang dari tadi berdiri memandang kepergianku. Aku melompat ke arahnya. Mencium tepat di bibirnya, tak peduli orang mau berpikir apa. Bahkan aku berpikir di situ hanya aku dan Dion. Setelah aku melepas ciumanku. Aku memeluknya dengan erat, entah untuk berapa lama.
“Sayang, kamu akan ketinggalan kereta. Aku berjanji akan mengunjungimu jika waktuku tersedia. Aku sangat menyayangimu.” Kata Dion.
“Iya maafkan aku. Aku merasa akan sangat jauh pergi darimu seperti kita tidak akan bertemu lagi. Ku mohon tetaplah memikirkanku.” Jawabku sambil menangis tersedu – sedu.
“Iya aku berjanji. Sekarang cerialah, sambut masa depanmu sayang. Aku akan menunggumu dan kita akan bersama sama lagi.”
“Iya. Aku sangat menyayangimu.” Kulepaskan pelukanku dan kuusap air mata dan ingusku yang mengalir di mana – mana.
“Hei. Hati – hati.” Kata Dion yang kemudian mencium keningku.
Setelah karcisku diperiksa aku berjalan menuju kereta. Aku sempatkan menengok ke belakang dan melihat Dion yang mengusap matanya. Dion yang aku kira cukup tegar ternyata Dia bersedih karena melepaskanku.
 

Di dalam kereta wajah ibu, wajah Vera dan wajah Dion terngiang di kepalaku. Orang – orang yang sangat berharga dalam hidupku. Tanpa mereka mungkin aku tidak akan ada di sini. Teringat kenangan – kenangan penting dalam hidupku. Salah satunya saat menjelang ujian kelulusan sekolah.
“gak terasa sebentar lagi kita akan ujian, kita akan lulus, kuliah, kerja, menikah, punya anak, waahhh cepat sekali.” Kata Vera dengan mata yang berbinar – binar membayangkan masa depannya.
“mana mungkin akan secepat itu Ver. Lulus aja kita belum. Mending belajar dulu deh baru mikir yang lain – lain.” Jawabku.
“ahh iya hasil try out ku jelek terus. Bantuin kek Ki.”
“Bantuin belajar oke oke saja. Bantuin jawab maleeess.” Godaku.
“Wuu, teman tiri.”
“Iya aku bantuin. Habis tambahan nanti ke rumah ya. Kita belajar bareng.”
“Aku ada les Ki. Tapi lebih paham kalau kamu yang jelasin deh Ki.”
“Terserah kamu aja lah. Mau les, apa mau diajarin sama sahabat kamu yang pintar cerdas akurat ini.”
“Kayak acara berita aja pakai ada akurat – akurat segala.”
“Apaan yang akurat?” tanya Dion yang tiba – tiba datang dan duduk di sebelahku.
“Kalian mah enak yang cewek pintar yang cowok juga. Pasangan serasi lah kalian berdua.”
Mendengar kata itu kita berdua sama – sama tertunduk malu. Menyembunyikan muka kami yang sepertinya sama – sama memerah.
“kenapa kalian? Kok malah anteng – antengan seperti itu.” Seru vera.
“Hem apa?” jawabku kaget. “Yaudah mau belajar sama aku apa mau les? Buruan deh, gak usah pakai galau – galau  segala.”
“hari ini aku ikut les dulu aja deh Ki. Baru besok aku belajar sama kamu.”
“Yasudah terserah kamu saja.” Jawabku.
“Ngomong – ngomong gimana hasil ujian masuk ITB mu Dion. Berhasil kah?” tanya Vera yang membuatku memalingkan pandangan ke arah Dion.
“Alhamdulilah aku keterima. Sebenarnya agak berat ninggalin Kia. Aku maunya dia ikut aku ke Bandung. Tapi ya mau gimana lagi. Kia nya susah diajak bicara.” Jawab Dion yang kemudian cemberut.
Memang sebelumnya Dion sempat memintaku mengambil ujian beasiswa ITB tapi aku pikir – pikir kalau aku kuliah aku masih akan memberatkan ibuku. Karena ibu masih harus menanggung biaya hidupku di Bandung yang kemungkinan tidak sedikit. Untuk itu aku putuskan untuk bekerja saja. Dengan begitu kemungkinan aku bisa ambil kuliah sore dan membiayai hidupku sendiri tanpa harus membebani ibuku.
“Sudah dong Dion. Kita kan sudah pernah membicarakannya.” Jawabku sambil ku elus pipinya.
“Duh mesranya. Kangen kak Eka.” Raut muka Vera tiba – tiba langsung berubah seketika.
“Eh iya. Gimana hubungan kalian?” tanyaku penasaran.
“Semenjak kak Eka kuliah di UI. Aku benar – benar berusaha mati – matian untuk bisa masuk ke UI. Tapi itu susah Ki. Andai otakku seperti otakmu.”
“Aku pasti akan bantu kamu Ver. Kamu gak perlu khawatir. Kamu pasti bisa.” Jawabku mencoba menghiburya. Semenjak lulus SMA. Kak Eka ada di Jakarta. Dia kuliah di UI Jurusan Kedokteran. Untuk itu Vera sangat bersungguh – sungguh mengejar kak Eka di sana. Meskipun cita – cita Vera sebenarnya ingin menjadi arsitek.
Namun sejujurnya Vera seperti ini juga karena semenjak kak Eka di sana hubungan mereka menjadi renggang. Kak Eka yang berjanji akan sering – sering menghubungi Vera sering lupa dengan banyak alasan tentang kuliahnya yang mulai sibuk. Entah benar atau tidak tapi aku harus tetap memberi saran positif untuk Vera.
Bel masuk kelas pun berbunyi. Dion kembali ke kelasnya dan Vera kembali duduk di sebelahku setelah selesai memasukkan tempat bekalnya yang baru saja habis dia makan.


“Halo.” Jawabku di telepon. Sesaat setelah aku turun dari kereta.
“Hai. Kamu sudah sampai?” Tanya Dion dengan suaranya yang benar – benar ku rindukan.
“Sudah. Baru saja turun dari kereta. Aku sedang cari taksi menuju ke tempat kerjaku.” Jawabku sambil menarik koperku menuju keluar stasiun untuk mencari taksi.
“Baiklah. Hati – hati di jalan. Kalau sudah sampai tempatmu bekerja. Tolong kabari aku. Kau tahu? Aku sangat mencemaskanmu.” Suara yang kudengar begitu bergetar. Ku kira aku akan menangis lagi.
“Iya. Tolong jangan tutup teleponnya. Aku masih ingin berbincang denganmu.” Jawabku dengan satu tangan melambaikan tangan ke arah taksi yang lewat di depanku. “Aku baru saja masuk taksi.” Kataku di telepon.
“Pak, ke Jl. Bukit duri ya Pak. Gedung perkantoran Ramayana.” Kataku kepada supir taksi. Dengan telepon masih kupegang.
“Iya mbak.” Jawab supir taksi itu dengan aksen surabayanya.
“Hai. Kamu masih di situ?” tanyaku lewat telepon.
“Iya sayang aku masih di sini.” Jawabnya dengan memanggilku sayang benar – benar membuat darahku mengalir lebih cepat.
“Sedang apa kamu di sana?” tanyaku.
“Aku baru mengemas pakaian dan barang – barang yang akan aku bawa. Mungkin ini rasa yang kamu rasakan ketika meninggalkan ibu Laela. Aku pun merasakan betapa sedihnya harus meninggalkan papaku. Kadang aku berpikir kenapa papa gak menikah lagi. Jadi saat aku tinggal seperti ini papa gak akan kesepian.”
“aku yakin papamu akan baik – baik saja. Papamu kan punya banyak relasi dan pekerjaan. Pasti papamu akan sangat terhibur.”
“iya aku tahu.”
Suasana hening beberapa saat. Meskipun telepon masih menempel di telingaku. Ku lihat pemandangan kota Surabaya yang tidak pernah aku ke sini sebelumnya. Tak jauh berbeda dari kota – kota besar lainnya. Tapi aku tetap merasa asing.
Aku menuju tempat dimana nanti aku akan bekerja. Dari sini aku akan menemui Pak Bara yang aku kenal saat aku melamar pekerjaan di tempat ini. Dan dari Pak Bara lah aku akan menemukan tempat tinggalku. Karena semuanya sudah diatur oleh Pak Bara. Bahkan aku sudah didaftarkan untuk mengikuti kuliah khusus karyawan yang ada di Surabaya ini.
“emm, Dion. Sepertinya aku sudah sampai. Nanti aku telepon kamu lagi ya. Akan aku kabari dimana aku akan tinggal. Dan seperti apa teman – temanku di sini.” Kataku.
“Iya. Berhati – hatilah jaga kesehatanmu. Aku sudah mulai merindukanmu.” Katanya menghanyutkanku.
“Aku juga merindukanmu. Bye.” Ku tutup teleponnya dan kemudian berjalan ke pintu depan kantor yang akan menjadi kantorku nantinya.
Ku bawa barang – barangku setelah dibantu oleh supir taksi tadi.
“Taruh di sini saja Pak. Ini uangnya. Terima kasih, Pak.”
“Iya mbak. Ini kembaliannya.”
“Buat bapak saja.’
“Terima kasih mbak.”
“Sama – sama Pak.”
Gedung yang cukup tinggi. Kira – kira ada 20 lantai. Karena ini adalah komplek perkantoran jadi suasanya pun ramai. Tidak hanya dari kantorku saja yang ada di sini. Tapi juga dari perusahaan – perusahaan lain. Dengan sedikit gugup aku langkahkan kakiku mendekati kantor yang bertuliskan NAYATI.
Perusahaanku bergerak di bidang produksi makanan ringan asal Jepang. Di kantor ini adalah bagian dokumennya. Aku bekerja di bagian administrasi antara pabrik dan manajemen perushaan yang akan menghubungkan dengan perusahaan induk yang ada di Jepang.
“Permisi mbak. Saya ada janji dengan Pak Bara.” Tanyaku kepada resepsionis yang sangat cantik. Penampilannya sangat menarik. Dengan rambut diikat rapi. Baju putih dengan jas biru gelap. Make up nya pun sempurna. Ku lihat di tag name nya tertulis nama Amanda.
“Maaf sebelumnya. Nama anda siapa?” tanya Amanda yang membangunkan keterpukauanku akan kecantikkannya.
“Em. Saskia. Saskia ananda. Dari Pekalongan.” Jawabku dengan sedikit gugup.
“Oo anda pegawai baru di bagian administrasi. Silakan mbak. Anda sudah ditunggu Pak Bara. Silakan naik ke lift lantai 11. Nanti di depan lift ada sekretaris Pak Bara yang akan mengantar anda. Dia akan saya hubungi dari sini kalau anda sudah datang.” Kata Amanda dengan percaya diri.
“Iya mbak. Terima kasih.” Ku angkat koperku dan mulai berjalan ke arah lift.
“Mbak Saskia. Kopernya ditinggal di sini dulu sama saya tidak apa – apa mbak. Saya akan menjagakannya. Sepertinya anda terlalu kerepotan jika bertemu pak Bara dengan keadaan seperti itu.
“O iya mbak. Terima kasih banyak.” Setelah meninggalkan koper, aku langsung menuju ke arah lift. Dalam hati aku berfikir “maksudnya apa dengan kata ‘seperti itu’?” setelah di depan lift. Aku melihat diriku di pintu lift yang memantulkan bayanganku. Astaga aku benar – benar kacau. Aku lupa berdandan sehabis turun dari kereta. Padahal perjalanannya cukup panjang untuk sampai di sini. Bahkan aku sempat tertidur di kereta.
Setelah pintu lift terbuka aku masuk dan ada beberapa orang masuk bersamaku. Mereka memperhatikanku dengan seksama. Apa karena penampilanku yang berantakan atau karena mereka asing terhadapku.
Pintu lift terbuka satu per satu orang – orang mulai keluar. Aku keluar di lantai sebelas meninggalkan dua orang pria yang berpakaian rapi berdasi dan jas.
“Selamat siang mbak Saskia.” Kata seorang wanita cantik dengan pakaian yang sama seperti Amanda.
“Selamat siang mbak La la.” Jawabku dengan melihat name tag nya,
“iya mbak. Mari mbak saya antar ke Pak Bara.”
“maaf mbak. Boleh saya ke kamar kecil sebentar.”
“oh iya silakan, mbak jalan terus ke sana lalu belok kiri. Ada toilet di sana. Apa perlu saya antar?” tawar lala yang kelihatannya sangat ramah.
“tidak perlu mbak terima kasih. Saya bisa sendiri.”
Aku berjalan dengan tergesa – gesa karena tidak mau Lala menunggu terlalu lama.
“Braaaak”
Tiba – tiba aku menabrak sebuah papan di depan yang tadinya aku rasa tidak ada. Ternyata itu pintu yang dibuka dari dalam.
“Oh maaf maaf maaf. Astaga anda baik – baik saja?” tanya seorang pria dengan menyingkirkan tanganku yang sedang mengelus kepalaku yang baru saja menghantam benda keras dan terasa nyeri mungkin memar atau sebantar lagi akan berdarah.
“Ehh iya aku baik – baik saja.” Jawabku dengan sedikit nyengir kesakitan.
“Sepertinya dahi anda memar. Mari saya obati dulu di pantry.” Katanya sambil memperhatikan dahiku.
“Terima kasih tidak perlu. Saya sedang ditunggu seseorang. Saya sementara bisa menutupnya dengan rambut poni saya.” Kataku dengan mencoba menarik diri dari pria tersebut. Setelah dia sedikit menjauh. Ku lihat wajahnya ternyata dia cukup tampan. Aku mencari – cari name tag nya ternyata dia sedang tidak memakainya. Jas hitam yang halus pakaian biru dan dasi bermotif garis hitam biru yang sangat pas dengan tubuhnya yang tegap. Perkiraanku usianya sekitar 25 tahun. Dia cukup dewasa dari umurku sekarang yang baru menginjak 18 tahun.
“Heloo..” tanganya menggoyang – goyang di depan mataku mencoba menyadarkanku.
“ehh iya. Maaf pak. Saya harus segera pergi. Permisi.” Ku palingkan wajahku menyembunyikan rasa maluku yang baru saja ketahuan memperhatikan penampilan pria tersebut secara berlebihan.
Segera setelah aku masuk ke kamar mandi. Aku merapikan rambutku dengan sisir yang ku bawa di tas kecilku. Ku lihat dahiku ternyata tidak hanya memar. Tapi sudah bengkak dan merah. Aku tutupi dengan poniku yang panjang menyamping, ku ikat rambutku rapi – rapi dan menggulungnya agar lebih rapi. Ku basuh mukaku dengan air, kukeringkan dan kemudian aku oleskan bedak, sedikit maskara dan lipstik untuk mewarnai bibirku yang kering. Aku mengenal sedikit make up ini dari Vera. Kebetulan kedua kakakku adalah laki – laki dan ibuku bukan seorang wanita yang gemar bersolek.
“Mbak lala saya sudah siap. Maaf menunggu lama.” Kataku.
“Tidak apa – apa mbak. Mari ikut saya.” Kami berjalan menuju ruang dengan pintu kaca yang dilapisi stiker buram berwarna putih. Setelah dibuka, saya melihat Pak Bara duduk di mejanya dan seorang pria duduk di kursi di depan mejanya berbincang dengan Pak Bara.
“Permisi Pak Bara. Tamu bapak sudah datang.” Kata Lala dengan senyum mengembang. Terlihat sekali bahwa Lala sangat terampil dan sudah berpengalaman di bidang pekerjaannya.
“Iya. Halo Kia. Silakan masuk. Mari duduk di sini.” Kata Pak Bara sambil turun dari mejanya dan kemudian berjalan menghapiriku.
“Siang Pak Bara.” Sapaku dengan mengikuti beliau ke arah mejanya.
Aku duduk di samping pria berjas tersebut. Pak Bara duduk di kursi di belakang meja.
“Apa kamu sudah selesai denganku, Tom.?” Tanya pak Bara pada Pria tersebut,
“Sudah, Bar. Tapi sebentar aku masih sibuk disini,” jawabnya sambil terus melihat tablet yang sepertinya dia sedang memainkan sesuatu.
“Sudah sana keluar. Aku ada tamu. Pergi sana.” Kata pak bara kepadanya.
“Oh ada tamu.” Dia mematikan tabletnya dan kemudian melihat ke arahku. Kita saling bertatap muka.
“Hei, ternyata kamu. Bagaimana kepalamu?” dengan cepat tangannya menyambar rambut poniku dan mengangkatnya.
“Aw. Masih sakit tapi tidak apa-apa. Sungguh.” Jawabku sambil mengembalikan rambutku ke bentuk semula.
“Kau apakan dia? Baru pertama bertemu sudah mencelakainya.” Tanya Pak Bara.
“Tadi waktu aku membuka pintu pantry. Tiba – tiba dia menabrak pintu itu. Sudah beberapa kali pintu itu mencelakai orang deh Bar. Kamu musti ganti engselnya biar bisa dibuka ke arah dalam.”
“Iya nanti. Biar aku suruh Pak Eko benerin. Sudah kamu balik ke tempatmu sana. Menganggu saja kalau ke sini cuma cari wifi.”
“Abis di tempatku wifinya kurang kuat. Aku musti protes nih,” jawab pria tersebut sambil berlalu pergi.
Setelah sekitar satu jam aku bersama Pak Bara. Banyak yang dia ceritakan mengenai kantor ini. Termasuk Tomi yang tadi sudah mencelakaiku. Kemudian Pak Bara memberikanku alamat dimana aku tinggal dan memberiku ongkos taksi untuk ke sana. Pak bara mempersilakan aku untuk beristirahat dulu dan besok aku sudah mulai bekerja.

Selasa, 16 Oktober 2012

Cerita Pertama


Seiring dengan berjalannya waktu aku mulai menyadari bahwa sesungguhnya aku tidak sendiri. Mereka ada untuk membantu dan mewujudkan semua mimpiku.
Kehidupan ini ku mulai. Saatnya aku dewasa dan terlepas dari peraturan-peraturan yang membelengguku sebagai anak - anak. Aku saskia ananda, saat ini usiaku menginjak 18 tahun. Saat ini adalah  saat – saat perpisahan dengan ibu asuhku di Panti Asuhan Kasih Ibu . Berat memang untukku melepas senyum, simpati dan keramahannya. Pagi, siang dan malam aku tak bisa lepas dari ibu yang sudah ku anggap seperti ibu kandungku sendiri.
“Kia, ibu tahu ini berat. Tapi sudah saatnya kamu untuk lebih mandiri, Nak. Suatu saat kita pasti akan bertemu. Mungkin kamu tidak ibu lahirkan dari rahim ibu. Tapi sungguh demi apapun Ibu benar – benar menyayangimu.” Itulah pesan terakhir yang Ibu Laela sampaikan sebelum aku beranjak menginjakkan kakiku melewati pintu pagar yang terbuat dari kayu – kayu tua yang catnya pun sudah Pudar.
Aku tak kuasa lagi berdiri. Ku peluk ibuku dengan penuh air mata. Hingga membasahi baju yang menutupi bahunya. Ibu Laela adalah ibuku meski beliau bukan ibu kandungku. Ku hormati dan ku sayangi beliau. Rasanya belum puas aku memeluknya, tapi supir taksi itu sudah lama menungguku. Aku harus segera pergi. Kupandangi tatapannya. Aku rasakan apa yang dia rasakan. Oh, Tuhan andaikan aku bisa mengajak ibuku serta.
Pagi yang begitu indah. Matahari pagi mulai memasuki celah – celah jendela kamarku yang baru saja aku mulai untuk membersihkannya.
“Kia, bangunkan adik – adikmu. Dan segera kemari bantu ibu menyiapkan sarapan.” Teriak ibuku yang sebenarnya menjengkelkan tapi mau bagaimana lagi di sini aku yang paling tua dibanding adik – adikku.
“Iya bu.” Segera aku membangunkan seluruh adik – adikku yang jumlahnya ada 9 anak. 6 perempuan dan 3 laki – laki. Begitu ramai kalo mereka bangun dan membuat gaduh. Bagaimana tidak usia mereka rata – rata 10 tahun.
Ku mulai dari kamar pertama yang isinya ada 6 anak perempuan di sana. Yang kedua tertua setelah aku namanya Fitria usia 12 tahun baru saja masuk SMP. Atma dan Nada usia 10 tahun kelas 5 SD. Lala dan Nurul baru usia 8 tahun kelas 3 SD. Fatia usia 3 tahun baru saja ibu terima 2 minggu yang lalu.
“Ayo semuanya bangun. Lekas mandi mau sampai jam berapa kalian tidur?” teriakku. Sebenarnya aku tidak galak tapi aku hanya ingin membuat mereka tertib dan disiplin. Ku biarkan Fatia tidur. Kasian dia belum mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya. Jadi dia terus menangis memanggil ibunya.
Ku lanjutkan ke kamar berikutnya. Tadinya di kamar ini ada 5 anak laki – laki tapi Mas Anjar dan Mas Danar sudah dewasa dan dia harus pergi dari panti asuhan ini. Tinggal Farid, Dino dan Angga. Mereka sebentar lagu lulus SMP.

“Sudah bangun mereka, Kia?” tanya ibuku sambil terus memandangi tempe yang ada di penggorengan. “Sudah, Bu. Mereka sudah siap di meja makan. Aku akan antar makanan ini dulu.” Jawabku sembari melangkah pergi dari dapur dan membawa sebakul nasi di tanganku. “Iya, kamu juga makanlah biar Ibu yang lanjutkan ini. Nanti kamu terlambat lagi.”
Kuletakkan makanan – makanan itu di atas meja. “Ayo segera makan. Sudah siang. Kakak gak mau datang ke sekolah lagi kalau kalian ada yang terlambat.” “Iya kak.” Jawab mereka serempak. Senangnya melihat mereka semua sudah mulai menemukan jati diri mereka, berbeda jauh saat mereka pertama kali masuk di sini.
Aku sendiri adalah anak ketiga Ibu. Aku datang ke sini diantar kakekku yang memang sudah tidak sanggup lagi merawatku. Sedangkan aku pun tidak tahu siapa ayah dan Ibuku. Awalnya ibu tidak ingin membuka panti Asuhan ini. Ibu hanya sesosok janda tua yang berhati emas. Ibu membawa mas Anjar pulang saat ia menjadi kuli panggul dan membantu membawakan barang – barang ibu.
“Dek, berapa umurmu?” tanya ibu kepada mas Anjar.
“10 tahun bu.” Sambil keberatan membawa barang – barang belanjaan ibu.
“apa kamu tidak sekolah?”. “tidak ada uang bu.” Jawab mas Anjar dengan menunduk. “apa pekerjaan ayah dan ibumu?” tanya ibu dengan penuh keingintahuan. Suasana hening sesaat. Kemudian mas Anjar menjawab. “Ibu saya sudah lama pergi bu dan tidak pernah pulang. Mungkin sudah lebih dari 5 tahun. Sedangkan ayah saya adalah seorang pemabuk berat bu. Saya tidak betah di rumah.” Jawab mas Anjar yang kemudian mulai menangis. Ibu pun mulai jatuh hati kepada mas Anjar. Ibu berniat untuk membawa mas Anjar pulang. “Dimana rumahmu Nak? Bawa ibu bertemu dengan ayahmu.” Pinta ibu.
Mereka pun berjalan melalui gang – gang sempit di belakang pasar keadaan begitu kumuh dan bau yang tidak sedap. “Ini bu rumah saya.” Mas Anjar menunjuk sebuah rumah yang sangat tidak layak huni. Hanya ada satu pintu tanpa jendela. Rumah itu hanya beratap terpal biru yang sudah kucel. Bahkan warnanya hampir menghitam.
“Bapak, ada yang mau ketemu bapak.” Teriak mas Anjar. Munculah seorang laki – laki yang sangat tidak enak dipandang. Bau tubuhnya bahkan sebelum dia keluar sudah tercium bau alkohol yang sangat menyengat. Sambil gentoyongan dan mencoba untuk membuka matanya dia menemui Ibu. Sebenarnya ibu takut tapi ibu tetap berusaha tenang.
“Maaf pak. Maksud dan tujuan saya datang ke sini. Untuk meminta ijin membawa anak Bapak pulang dan tinggal bersama saya di rumah. Saya berjanji akan merawat dan menjaga dia seperti anak saya sendiri. Saya hanya seorang Janda Purnawirawan TNI yang mandul. Saya kehilangan suami saya saat beliau sedang bertugas. Kiranya bapak sudi ?” tanya ibu to the point.
Seketika keadaan menjadi hening. Bapak itu dan Mas Anjar sama – sama tertegun tak berucap.
“sa.. sa.. saya Bapak yang gagal, bu. Istri saya pergi dengan pria lain karena saya tidak bisa menafkahi istri dan anak saya. Anjar merupakan anak saya satu – satunya. Tapi saya tidak layak disebut Bapak, bu. Anak saya begitu membuat saya lemah. Saya tidak sanggup membahagiakannya. Saya malu, bu.” Bapak itu pun menangis sejadi – jadinya. Begitu juga dengan mas Anjar.
“Nang, pergilah sama ibu ini. Bapak ikhlas. Bapak malu tidak sanggup membahagiakan kamu. Bapak gagal menjadi bapakmu. Kamu bilang kamu ingin sekolah kan, Nang? Bapak gak bisa sekolahin kamu, Nang. Tapi ibu ini bisa. Ikutlah dengannya. Kelak Bapak ingin lihat kamu menjadi anak yang pandai. Kamu jadi anak yang berhasil. Kamu datang menemui Bapak dengan memakai dasi dan setelan mahal. Bapak ingin, kamu ajak Bapak naik mobil keliling kota.” Ucap Bapak itu dengan berlutut dan memegang Bahu Mas Anjar.
“Anjar sayang Bapak.” Mas Anjar kemudian memeluk bapaknya. Peristiwa itu membuat Ibu menangis.
“Gimana, Njar? Kamu mau ikut ibu atau gak ? ibu akan sekolahin kamu. Nanti kalau kamu sudah dewasa kamu bisa kerja dan kembali menemui Bapakmu.” Kata ibu meyakinkan.
“Anjar mau, Bu.” Jawab mas Anjar.
Mulai saat itu Ibu merawat mas Anjar dengan penuh kasih sayang.
Saatnya aku berangkat ke sekolah. Setelah aku selesai membereskan meja makan dan membantu ibu mencuci piring. “Ibu, kia berangkat dulu.” Ku cium tangan ibuku yang sudah mulai keriput. “Iya kia, hati – hati.” Sambil memandikan Fatia yang sudah mulai nakal. Tak lupa aku mencium pipi adik baruku itu.
Ini adalah tahun pertamaku memasukui dunia Sekolah Menengah Atas. Aku bersekolah di SMA N 6 Pekalongan dengan beasiswa. Aku berhasil mendapatkan beasiswa ini benar – benar dengan perjuangan. Aku harus belajar di tengah suasana yang ramai teriakan anak – anak bertengkar belum lagi setiap malam aku pun harus mengajari mereka mengerjakan PR. Tapi Alhamdulilah aku bisa lulus dengan nilai terbaik sekota Pekalongan. Dan akhirnya aku mendapat beasiswa dari Walikota. Aku tidak akan menyia – nyiakan kesempatan yang sudah Tuhan kasih. Aku akan belajar giat dan meraih mimpiku menjadi seorang perawat.
“krrrrrrriiiiiiinggggggggg.....krrrriiiiiiiiiiiiiiiiinnggg....” bel sekolahku sudah berbunyi. Tepat saat aku akan memasuki pintu gerbang.
Aku langsung berlari dan segera menempati tempat duduk yang biasa aku tempat bersama sahabatku Vera. Vera adalah gadis kaya yang sangat baik. Bahkan tas dan sepatu yang aku pakai saat ini adalah pemberian darinya. Dia cantik, pintar dan baik hati. Aku pun heran mengapa dia memilihku menjadi sahabatnya. Dia bilang karena aku adalah orang yang tulus.
Selayaknya gadis – gadis puber pada umumnya aku pun mulai menaruh hati dan simpati kepada lawan jenis. Namanya Eka, dia adalah sang Ketua OSIS. Pribadinya yang begitu humble dan bersahaja membuat banyak gadis memperhatikannya. Begitu juga dengan sahabatku Vera. Dengan sedikit terpaksa aku memendam dalam – dalam perasaanku sama kak Eka. Mana mungkin aku mampu bersaing dengan sahabatku sendiri. Asal sahabatku bahagia aku pun juga. Akhirnya mereka berdua pacaran. Dan aku tidak menyesal semua itu terjadi. Karena dengan mereka pacaran kak Eka jadi rajin datang ke kelas. ^_^
Tapi aku gak jelek – jelek amat lho. Buktinya ada Dion yang sampai sekarang tidak berhenti ngejar – ngejar aku. Dia temenku sewaktu SD. Kita teman sebangku karena waktu itu aku Peringkat 1 dan dia peringkat 2. Mulai saat itu dia jadi baik banget sama aku. Tapi karena aku masih kecil aku tidak pernah mengerti apa maksudnya semua itu. Sampai pada saat kelulusan SD dia bilang mau terus sama aku.
“Saskia, aku .. aku .. suka sama kamu. Kamu mau gak jadi pacarku?” tanya dia dengan muka merahnya.
“apa? Kita masih kecil. Kita gak boleh pacar – pacaran.” Jawabku dengan polosnya. “Kita tetap jadi teman aja. Aku juga suka kok sama kamu.”
“bener Saskia? Kemanapun kamu pergi aku akan tetap ikut bersamamu. Aku akan satu sekolah terus sama kamu Kia. Kalau bisa aku ingin tetap sebangku sama kamu.” Ucap dion dengan tampang penuh semangat.
Ternyata benar apa yang dia bilang. Karena dia anaknya orang kaya jadi apapun yang dia mau dia bisa dapatkan. Dia mau satu sekolah sama aku sampai satu kelas dan menjadi teman bangkuku. Selama 9 tahun. Hingga akhirnya aku lulus SMP dan memulai SMA. Dia pun berhasil masuk ke SMA yang sama namun karena dia mencoba memintaku untuk menjadi pacarnya lagi. Dan untuk kedua kalinya jawabanku masih sama seperti itu. TIDAK. Akhirnya dia berhenti merengek kepada ayahnya untuk satu kelas lagi denganku.
Semester 1 telah usai, kita telah memasuki semester ke 2. Teman – temanku sudah semakin banyak dan persahabatanku dengan Vera pun semakin erat. Bahkan dia sering menginap di Panti saat orang tuanya keluar negeri untuk bisnis. Meskipun keluarga itu begitu kaya namun tidak pernah aku melihat kesombongan keluar dari mulut mereka. Mereka juga salah satu donatur tetap di Panti Asuhan Kasih Ibu.
“Assalamualaikum, bu.” Aku memasuki rumah panti. Ku lihat di ruang tamu ada 1 cangkir kosong yang masih berbau teh.
Segera aku masuk ke kamarku dan lekas mengganti baju lalu beranjak ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Selama itu yang ku lihat hanya adik – adikku yang sedang beristirahat. Setelah aku selesai melakukan sholat Dzuhur ku. Aku langsung menemui adik – adikku.
“Fit, Ibu dimana?” tanyaku kepada Fitria yang sedang mencoba menidurkan Fatia di gendongannya.
“tadi Mas Danar ke sini. Terus ngajak Ibu pergi. Ibu bilangnya sih gak lama. Mungkin sebentar lagi mereka pulang.” Jawabnya.
“Oo. Kalian sudah makan kan? Mana tiga serangkai (Farid, Dino, Angga) ?” tanyaku.
“Sudah kak. Piringnya juga sudah ku cuci semua. Kak Farid, kak Dino sama kak Angga tadi habis makan siang. Langsung ke rumah temannya katanya mau belajar kelompok buat persiapan ujian. Adik – adik sudah pada tidur.” Jawabnya dengan menguap.
“sini biar aku yang menidurkan Fatia. Kamu tidur aja.” Jawabku dengan mengambil Fatia yang sudah mulai tertidur dari tangan Fitria.
“Iya kak.” Jawabnya.
Sambil menggendong Fatia aku terus memikirkan Ibu dan Mas Danar. Mas Danar adalah anak asuh Ibu yang kedua setelah Mas Anjar. Mas Danar tinggal bersama ibu saat usia Mas Danar 12 tahun. Tepat 2 tahun setelah ibu mulai mengasuh Mas Anjar. Mas Danar adalah anak dari teman Ibu.
Waktu itu orang tua mas Danar datang ke rumah panti saat hari sudah hampir tengah malam.
“La, aku titip Danar di sini sama kamu ya. Soalnya ini aku dapat kabar kalau mertuaku yang di Samarinda meninggal tadi sore. Aku harus buru – buru ke Semarang soalnya besok pagi aku harus naik kapal ke Samarinda.” Kata ibu Mas Danar dengan raut sedih di wajahnya.
“ya mbak ya. Di pekalongan cuma mbak yang bisa saya minta’i tolong. Kami gak bisa bawa Danar soalnya uang kami gak cukup buat kami bertiga.” Pinta ayah mas Danar dengan memelas.
“Aduh. Gimana ya? Ya sudahlah. Aku turut berduka cita ya Mas, Eni. Anakmu biar sama aku.” Jawab ibu.
“Makasih ya mbak. Nar, kamu sama Bude Laela dulu ya. Mama sama Papa gak lama kok. Mama sama Papa sayang sama Danar. Danar jangan nakal ya. Tunggu sampai Papa pulang.” Kata Bapak mas Danar sambil memeluk mas Danar.
Mereka pun langsung pergi menuju semarang untuk naik kapal menuju Samarinda. Tiba – tiba ada sesuatu yang terjadi. Perasaan tidak nyaman hadir dalam hati Mas Danar.
“Bude, papa sudah telepon belum? Harusnya papa sudah sampai di Semarang tadi subuh kan Bude?” tanya mas Danar dengan cemas.
“Mungkin papa mu lupa, Nar. Soalnya pikirannya kan juga masih kemrungsung. Kamu jangan cemas. Sudah sana berangkat sekolah.” Jawab ibu. “Njar, sudah belum? Ini Danar sudah siap. Sana buruan berangkat.” Teriak ibu memanggil Mas Anjar yang masih di kamar mandi.
# Selamat pagi pemirsa, saat ini saya sedang berada di Jalan Raya Kendal Kabupaten Semarang. Dini hari tadi terjadi kecelakaan beruntun antara Bus Seroja Indah dari Jakarta yang bertujuan ke Surabaya, 1 Truk tronton bermuatan beras yang akan dikirim ke Semarang, serta 2 minibus. Saat ini ditemukan 18 orang tewas dan 20 lainnya luka – luka. Korban tewas diketahui seluruhnya dari Bus Seroja Indah. Karena Badan Bus terjepit Badan Truk Tronton yang terguling ke samping. Berikut adalah identitas Para Korban#
Keadaan begitu hening. Tiba – tiba air mata menetes dari mata Mas Danar saat diketahui nama orang tuanya tertulis di berita Pagi yang disiarkan oleh salah satu TV swasta yang biasa dilihat ibu saat sarapan.
“Pa...pa...paa. Ma...ma...maa.. mamaaah. Papaaaah...” teriak Mas Danar sambil terduduk lemas menahan luka di hatinya. Mas Danar begitu sedih hingga tak ada kata yang bisa Mas Danar ungkap. Kecuali hanya menyebut mama dan papa.
“Danar, nyebut nang. Astagfirulah al adzim. Astagfirulah al adzim.” Kata ibu menenangkan mas Danar yang terpaku tanpa pandangan.
“Bude, papa bude. Mamaku bude. Huaaa.....” Tangisan mas Danar pecah saat itu juga.
#Korban tewas saat ini sedang diadakan otopsi di Rumah Sakit Tugu Semarang#
“Ayo, bude antar kamu ke semarang. Kita lihat benar atau tidak itu Papa Mamamu. Bangun nak. Njar, kamu segera berangkat sudah siang. Nanti kamu di rumah sendiri dulu ya. Ibu mau antar Danar ke Semarang. Ibu nanti pulangnya agak malam jangan lupa kunci pintu.” Kata ibu. Sambil menyuguhkan air ke mulut Mas Danar. “Ayo nang bangun.” Kata ibu berusaha mengangkat mas Danar.
“Ibu, Anjar berangkat dulu ya.” Sambil mencium tangan ibu. “Nar, kamu yang tabah ya. Aku doakan yang terbaik buat orang tuamu.” Sambil menepuk pundak Danar.
Ibu dan Mas Danar pun berangkat ke Semarang. Sesaat kemudian sampailah mereka ke Rumah Sakit dimana orang tua Mas Danar dirawat.
Tangis mereka pun pecah saat mengetahui bahwa Papa dan mamanya Mas Danar benar – benar menjadi korban tabrakan beruntun itu. Sesegera mungkin ibu menghubungi keluarga besar Mas Danar yang ada di Makasar. Dan diputuskan jenazahnya akan dimakamkan di Makasar. Begitu juga dengan Mas Danar. Dia akan dirawat oleh om dan tante nya yang ada di Makasar.
Tiga bulan setelah peristiwa itu terjadi. Mas Danar memutuskan kembali ke Pekalongan untuk menuntut ilmu di sini. Mungkin karena dia tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan makanan di sana. Dan dia meminta Ibu untuk mengangkatnya menjadi anak asuh. Sedangkan biaya bulanan mas Danar akan dikirim oleh om dan tantenya yang ada di Makasar.
“Assalamualaikum..” sapa dari luar.
Ternyata itu ibu dan Mas Danar. Di kedua tangan mas Danar ada 2 Palstik besar yang aku tebak itu adalah belanjaan buat sebulan. Mugkin mas Danar ke sini untuk memberi bahan – bahan pokok bulanan buat Panti ini. Sekarang Mas Danar sudah bekerja di Jakarta. meskipun Cuma lulusan STM namun mas Danar berhasil jadi teknisi di sebuah bank. Gajinya pun cukup banyak.
“Halo nduk.” Sapa mas Danar sambil mengoyak rambutku.
“Halo mas.” Jawabku dengan tersipu.
“adik – adikmu mana nduk ?” tanya mas danar sambil duduk di sampingku.
“kalo yang cewek2 lagi pada tidur. Yang cowok2 belajar kelompok buat persiapan ujian. Mas, aku pindahin Fatia ke dalam dulu ya.” jawabku.
“ibu sholat dulu ya. Kamu temenin mas Danar dulu.” Teriak ibu dari dalam kamar mandi.
“iya ibu.” Setelah aku memindahkan Fatia ke kamar. Aku langsung menemui Mas Danar lagi. “Apa kabar Mas Danar?” tanyaku dengan tersipu. Yang sudah tidak sanggup lagi memendam rasa rinduku padanya.
“baik nduk. Kamu gimana? Sekolahmu masih baik – baik aja to? Jangan sampai beasiswamu dicabut gara – gara kebanyakan pacaran. Hehe.” Ledek mas Danar.
“gak yo mas. Aku gak punya pacar.” Jawabku malu – malu.
“eh, padahal gak ketemu 8 bulan aja lho, Adikku udah lebih besar rupanya. Sekarang udah tau pacar – pacaran. Apa kamu mau jadi pacarnya mas aja? Hehehe.”
Kata – kata itu membuatku tak berucap. Dalam hati berpikir senangnya kalau Mas Danar jadi pacarku. Dari pertama aku masuk kesini aku sudah menaruh hati dengan Mas Danar. Piawainya yang pendiam, tenang membuatnya terlihat sangat dewasa. Meskipun usiaku saat itu masih 10 tahun. Tapi pandanganku kepadanya bukan sebagai kakak. Karena dia perlakukan ku begitu istimewa. Setiap kali aku bertengkar dengan mas Anjar. Mas Danar selalu membelaku.
“Woii, kok diem?” teriak mas Danar yang hampir membuat jantungku keluar dari rusukku.
“e.. e.. gak kok mas. Gimana kerjaannya mas Danar? Pernah ketemu artis gak mas di Jakarta?” tanyaku dengan mencoba lebih santai.
“aku dipecat nduk.” Jawabnya dengan raut muka sedih.
“beneran mas? Kok bisa? Emang mas salah apa kok sampai dipecat?” tanyaku dengan setengah tidak percaya.
“dibohongi masmu kamu, kia. Masmu dipindah tugas ke Pekalongan.” Jawab ibu keluar dari kamar.
“hahahahahahaha. Kena kamu nduk.” Ledek mas Danar dengan ketawa terbahak – bahak.
Ku tundukkan kepalaku sambil senyum dalam hati. Berarti mas Danar akan tinggal di sini bersama aku. Wah wah wah. Istimewaa.
Keesokan harinya pagi berjalan seperti biasa. Bedanya mas Danar ada di sini. Dan semua itu mengingatkanku dengan masa lalu.
Lima tahun yang lalu. Aku dibawa kakekku ke Rumah Panti ini. Waktu itu rumah ini hanya rumah biasa yang ditinggali seorang wanita janda dengan 2 anak asuhnya. Kakek mendengar kabar bahwa ada seorang wanita yang berhati baik mau membantu orang – orang yang benar2 butuh pertolongan.
Aku hidup dengan kakek sejak kecil. Sedangkan aku tidak tahu ayah dan ibuku siapa. Tidak pernah aku bertanya dan tidak pernah kakek menceritakannya kepadaku. Kakekku hanya seorang buruh tani. Beliau bekerja keras seorang diri untuk membayar biaya sekolahku. Kakek memasakkan makanan untukku, hingga akhirnya aku bisa masak sendiri dan berbalik aku hidangkan makanan untuk kakek.
Suatu hari ada seorang pria paruh baya yang datang ke rumah. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Aku hanya menyuguhkan minuman dan kemudian masuk kembali ke belakang. Saat itu aku dengar kakek begitu marah dan mengusir orang itu pergi. Aku berpikir dalam hati apakah pria itu adalah ayah kandungku. Namun aku tertegun saat mendengar kalau pria tersebut hendak membawaku ke kota dan kakek akan diberi uang yang sangat banyak. Saat itu aku belum mengerti mengapa kakek marah. Padahal aku akan diajak ke kota. Mungkin karena waktu itu kakek tidak diajak.
Namun semakin lama aku mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Aku diajari kakek untuk menjadi wanita yang tangguh tidak boleh bersedih dan menyerah dengan keadaan. Kakek mengajariku sholat dan mengaji. Apapun yang terjadi tetaplah berpegang pada imanmu.
Lambat laun usia kakek semakin tua. Beliau sudah mulai sakit – sakitan dan tidak sanggup lagi bekerja. Uang simpanan kami lama kelamaan habis untuk makan sehari – hari. Hingga akhirnya suatu hari aku tidak menemukan 1 liter beras pun untuk aku masak.
“Kek. Kok belum ada nasi? Aku lapar. Tadi pagi aku kan belum sarapan. Kakek bilang katanya mau beli beras buat dimasak nasi. Kakek bilang kalau nanti aku pulang. Nasi sudah ada. Mana kek? Aku lapar.” Eluhku sambil menangis memegang perutku. Memang dari semalam aku belum makan karena memang beras kami sudah habis. Paginya aku pun harus nyuci baju langsung berangkat sekolah. Rasa lapar dan lelah membuatku egois dan tidak memikirkan perasaan kakek.
“Kakek juga laper, kia. Kakek juga belum makan. Tadi pagi kakek mau cari kayu di kebun untuk dijual. Nanti hasilnya bisa buat beli beras. Tapi kakek begitu lemas. Kakek tidak bisa bangun dari tempat tidur. Kakek minta maaf kia.” Jawab kakek sambil meneteskan air mata.
Mendengar ucapan kakek. Hatiku tertegun tak berdaya. Aku benar – benar merasa bersalah.
“Kakek, maafin aku. Hua hua hua.” Aku langsung menangis dan memeluk kakekku yang hanya bisa tertidur di ranjang tua tanpa kasur.
Aku pun langsung berlari keluar. Aku pergi ke kebun tetangga – tetanggaku. Dengan ijin mereka aku mengumpulkan kayu – kayu yang berjatuhan di tanah. Melihat itu semua tetangga sebelahku dengan senang hati memberiku sayur yang bisa aku makan bersama kakek. Dan nasi sisa yang keadaanya masih bagus memang. Aku segera pulang dan meletakkan kayu – kayu yang tadi aku dapat. Aku suapi kakekku dengan nasi dan sayur tadi aku senang kakek tersenyum lagi. Setelah kami makan. Aku segera ke pasar menjual kayu yang tadi ku dapat. Uang yang tak seberapa itu aku bawa pulang.
Keesokan harinya. Aku membawa kakek ke puskesmas terdekat.
“Ini obatnya. Diminum 3 kali sehari setelah makan ya.” Kata Bu dokter dengan sabar.
“Iya bu dokter.” Jawabku. Sebenarnya terlalu dewasa untuk aku melakukan semua ini. Tapi aku telah diajarkan kakek untuk menjadi anak yang tangguh dan jangan menyerah dengan keadaan.
“kamu gak sekolah kia?” tanya kakek saat perjalanan pulang dari puskesmas.
“sekolahnya libur kok kek.” Jawabku dengan yakin. Dalam hati sebenarnya aku merasa bersalah membohongi kakek. Tapi aku harus bekerja untuk bisa tetap bertahan hidup.
Aku putuskan untuk menjadi pedagang asongan di pasar. Uang hasil jualan aku kumpulkan sedikit demi sedikit karena begitu besar kasih kakek untukku maka aku harus membalasnya.
Suatu hari kakek mengajakku ke suatu tempat. Sebuah rumah yang besar di depan rumah tersebut ada kebun yang luas. Ku lihat ada seorang wanita sedang asyik berkebun. Saat aku datang. Dia segera membukakan pintu dan mempersilahkan kami duduk.
“maaf, ada apa ya pak?” tanya ibu itu.
“begini bu. Saya bermaksud menitipkan cucu saya di sini.”jawab kakek sambil terbatuk – batuk
“kesehatan saya semakin lama semakin menurun. Saya tidak bisa membiarkan anak sekecil dia bekerja untuk membeli 1 liter beras dan seikat sayur setiap harinya,”
Jadi selama ini kakek tahu kalau aku tidak sekolah tapi berjualan asongan untuk bisa membuat kami bertahan hidup.
“saya dengar ibu memiliki 2 anak asuh tinggal bersama ibu. Biarkan cucu saya ini juga menjadi bagian keluarga ibu.” Pinta kakek dengan penuh keharuan.
“Kakek... kakek mau kemana? Kia ikut..” seruku dalam hati.
“pak. Maaf sebelumnya. Bukannya saya tidak bisa menolong. Tapi ini bukan panti asuhan pak.” Kata ibu itu menjelaskan.
Kakek hanya terdiam. Dan mencoba meminta belas kasih dari ibu itu.
“tidakkah di hati ibu merasa iba. Seorang anak perempuan menjual asongan. Menyianyiakan masa mudanya dengan bekerja menghidupi kakeknya yang suadah tua dan tidak sanggup berbuat apa – apa. Jujur di dalam hati begitu besar keinginan saya untuk bisa membesarkan saskia yang sudah saya anggap seperti anak saya. Namun apa daya raga ini sudah tidak mampu lagi berjuang. Istri saya sudah lama meninggal. Saya hanya memiliki 1 orang anak dan itu ibunya saskia. Ayah saskia pergi entah kemana saat ibu saskia mengandung saskia. Anak saya mengalami komplikasi penyakit yang diturunkan dari istri saya. Anak saya memilih untuk melahirkan saskia dan mengorbankan nyawanya.” Ucap kakek dan dengan tidak sengaja meneteskan air mata.
Ibu itu pun langsung memelukku.
“baiklah pak. Saskia biar saya yang rawat. Bapak tidak perlu cemas. Saya akan berusaha membuat  cucu bapak bahagia di sini.” Kata ibu itu.
“Kia, kamu sama ibu Laela dulu ya. Kakek mau pergi jauh. Kia gak usah ikut.” Ucap kakek.
“kia ikut kakek. Kia ikut kek..”tangisku meronta ronta.
Aku benar – benar lemah tak berdaya. Aku hanya ingin ikut kakekku saat itu. Namun kasih sayang Ibu Laela membuatku terlena. Kasih sayang seorang ibu yang sangat kurindukan. Tak lama setelah itu aku mendapat kabar kalau kakekku meninggal. Aku benar – benar terpukul. Aku pulang ke rumah kakek. Aku datang ke makam kakek yang masih baru. Aku menangis berlutut. Hanya doa yang bisa ku panjatkan untuk kakek. Semoga kebaikan kakek selama hidup di dunia bergantikan kebahagiaan di alam sana. Amin.
“Hayo, nglamunin pacarnya ya?” seru mas Danar membuatku terlepas dari lamunku. “ayo berangkat. Bareng mas. Kantor mas searah sama sekolahmu.” Ucap mas Danar sambil menarikku.
“bentar mas. Aku belum pamit ibu. Aku pamit dulu ya.” Ujarku.
Setelah aku berpamitan dengan ibu. Aku langsung keluar menemui mas Danar. Getar – getar perasaan itu masih ada. Dan itu membuatku tak sanggup untuk berkata – kata.
“udah sampai. Ayo turun. Apa mau ikut mas kerja?” ucap mas Danar.
“gak lah. Makasih ya mas.” Ku cium tangan mas Danar lalu berlari menuju gerbang. Menyembunyikan perasaan gugupku.
“Hayo pacar kamu ya.”ucap vera yang tiba – tiba berjalan di sampingku.
“apaan sih. Itu masku tau. Kok tiba – tiba kamu di sini kayak setan aja.” Jawabku.
“Oo. Mas Danar yang sering kamu cerita’in ke aku itu kan? Cie cie. Ada yang lagi C L B K ni?” ledek vera.
“terserah.” Jawabku sambil berlari menuju kelas.
“ye malu.. malu ni yee..” teriak vera dengan terus mengejarku.
Kulihat Dion sekarang berbeda. Dia lebih dewasa dan keren. Tampang yang cupu dan kutu buku. Sekarang berubah menjadi pria yang senang berolahraga basket dan futsal. Namun dia tetap menjadi terpandai kedua setelah aku. Dipikir – pikir agak menyesal juga dulu aku tolak dia. Sekarang dia bukan lagi anak papah. Dia berangkat sekolah sendiri dengan motor ninja RR 4 tak yang membuat dia makin keren.
“Dion, nyesel deh dulu aku tolak kamu,” seruku dalam hati.
Buuug..
Tiba – tiba semua gelap. Saat aku buka mataku ternyata aku sudah ada di uks sekolah. Di sebelah kiriku ada Vera dan Kak Eka. Di sebelah kananku ada Dion dan teman – teman dari club basketnya.
“eh kamu sadar juga. Aku siapa coba?” tanya Dion aneh.
“Gila kamu. Ya kamu Dion lah. Masak sutopo?” jawabku dengan memegang kepalaku yang sepertinya gagar otak.
“hahaha.” Vera dan kak Eka hanya tertawa.”Syukur deh kalau kamu baik2 aja kia.” Tambah vera.
“emang tadi aku kenapa sih Ver? Pingsan ya?” tanyaku bingung.
“sorry ya cantikku kia. Tadi aku gak sengaja lempar bola eh kena kamu. Kamu sih aku suruh minggir2 malah senyum2.” Ujar Dion.
Dion memang sering memanggilku cantik. Biasanya sih aku mual. Namun kali ini hatiku berbunga – bunga.
“Tuh kan nglamun lagi. Kamu kesambet apa ya kia?” tanya Dion.
“Gak kok. Udah udah sana keluar. Aku mau istirahat. Kepalaku pusing.” Jawabku menutupi malu.
“oke deh. Sebagai ucapan maafku. Ntar kamu pulang aku anterin ya cantik.” Ujar Dion dengan senyum manisnya.
“iya iya terserah.” Sambil membalikkan badanku ke dinding untuk menyembunyikan mukaku yang memerah.
“mau mampir gak?” tanyaku ke Dion yang sudah mengantarku sampai di depan rumah panti.
“gak usah deh, Kia. Makasih. Aku ada jadwal futsal nih abis ini.” Jawabnya.
“Futsal? Sama temen – temenmu yang keren itu. Ajak aku dong Dion, please.” Ujarku dalam hati.
“yaudah ya. Aku cabut. Salam buat ibu Laela. Lama aku gak main sini. Jangan sering nglamun lagi. Umm ntar malem aku telepon deh. Daa kia.” Ucapnya sembari berlalu pergi dengan suara motor kerennya itu.
Perasaan ini kok tiba – tiba muncul ya.  Perasaan dag dig dug saat aku sama Dion. Tapi perasaan ini berbeda dengan yang aku rasakan sama Mas Danar.
“Assalamualaikum..” seruku dari depan pintu.
“Walaikumsalam..” jawab ibu dan adik – adikku.
“Sholat terus makan Kia.” Seru ibu dari dalam kamar adik – adikku.
Sampai saat ini aku tetap menjadi anak kesayangan ibu. Mas Anjar dan Mas Danar ku kalahkan dengan pesonaku. Mungkin karena aku anak gadis ibu dan yang paling bontot. Jadi ibu menaruh simpati kepadaku jauh lebih dalam.
3 Tahun yang lalu adik – adik ku dititipkan di rumah ini. Karena rumah panti asal mereka digusur dan dijadikan minimarket. Pemiliknya yang lama kekurangan dana untuk membiayai penyakit komplikasinya. Pengurus panti yang lama sedang mengusahakan rumah panti yang baru untuk mereka. Namun dalam waktu 3 tahun rasa sayangku kepada mereka hari demi hari meningkat. Aku lah yang memberi nama rumah ini Panti Asuhan Kasih Ibu.
Kabar gembira sekaligus menyedihkan untukku. Kabarnya sebentar lagi adik – adikku akan segera dipindah ke rumah panti yang baru. Mungkin dalam waktu 2 minggu ini. Begitu berat rasanya selama 3 tahun mengemban tugas sebagai kakak. Namun harus berkahir dalam waktu 2 minggu.
Aku banyak belajar dari mereka dengan arti kehidupan sebenarnya. Dari mereka ada yang sepertiku tidak mengenal ayah dan ibunya. Ada yang mengalami kekerasan anak. Ada yang dipisahkan dari orang tua kandungnya. Namun mereka pernah berucap bahwa tinggal di rumah ini bersama aku, ibu dan kedua masku membuat mereka tak ragu lagi melangkah ke depan.
aku terus menanamkan kepada mereka untuk tidak menyerah kepada keadaan. Mas Anjar sekarang sukses menjadi wirausaha rumah makan yang cukup menguntungkan. Bisa kembali ke Bapaknya dan mewujudkan mimpi Bapaknya untuk melihat Mas Anjar sukses. Mas Danar yang sudah kehilangan kedua orang tuanya. Sekarang pun dia sukses menjadi seorang teknisi hebat. Aku yang tidak mengenal ayah dan ibuku, dibesarkan oleh seorang kakek renta dan hidup dalam kemiskinan berhasil meraih prestasi dan beasiswa.
Matahari itu ku lihat mulai beristirahat. Muncul bulan separuh yang ditemani bintang – bintang di langit. Keadaan begitu gemeriyuh mendengar canda tawa adik – adikku tercinta.
“Assalamualaikum..” ada suara dari luar menyapa.
“Walaikumsalam..” aku keluar rumah.
Ku lihat ada 2 orang pria beda usia. Mas Anjar. Aku langsung berlari memeluknya.
“sudah gendut. Kamu berat. Jangan bergelayutan seperti itu.” Ucap mas Anjar terbata – bata karena sepertinya aku memeluknya terlalu kencang.
“hehe. Ih aku lupa kamu kan panu an.” Sesegara aku melepaskan rangkulanku.
“eh. Enak aja. Kamu kali yang kudisan. Kamu kan gak pernah mandi. Mana keteknya bau lagi. Masih aja kecil. Kapan kamu gedenya?” ujar mas Anjar menjengkelkan.
“Ibu, mas Anjar datang.”teriakku. “Mari pak. Masuk. Kamu tu panuan. Kamu di luar aja.” Godaku.
“sini kamu. Dasar kecil. Gendut. Gak ada cantik – cantiknya.” Ucap mas Anjar sambil mencoba mengejarku.
Tak berapa lama ibu dan mas Danar keluar menuju ruang tamu. Ku lihat raut wajah ibu yang begitu merindukan Mas Anjar.
“Anjar.” Ucap Ibu dengan halus.
“Ibu.” Jawab mas Anjar yang langsung memeluk Ibu.
Tak disangka sudah 2 jam kami bercengkerama. Sudah saatnya Mas Anjar pulang. Aku sama Mas Anjar memang seperti Anjing dan Kucing. Mas Anjar tidak pernah mau mengalah denganku. Namun lepas dari semua itu aku yakin Mas Anjar adalah pribadi yang dewasa. Dia sekarang sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Dia membelikanku gaun pesta buat nanti ulang tahunku yang ke tujuh belas katanya.
Setelah mas Anjar pulang. Ibu masuk kamar dan beristirahat. Aku yakin kasih Ibu yang tulus kepada kami anak – anak angkatnya. Akan mendapat balasan yang istimewa dari Tuhan pastinya.
“trrrrrrr...trrrrrrrrr...trrrrrrrrrrr...” getar hapeku yang ku simpan di sakuku.
“Aduh, Dion. Ada mas Danar lagi. Nanti kalo mas Danar cemburu gimana ya ?” seruku dalam hati.
“Mas Danar. Ini Vera kok yang telepon mau curhat. Aku gak telepon cowok kok mas. Aku masuk kamar dulu. Ya..” ucapku dengan gugup..
“haa..?” mas Danar bingung.
Dua minggu itu pun datang, saatnya aku mengucapkan selamat tinggal untuk adik – adikku. Berat untuk melepas mereka pergi. Tangis mereka membuatku tak berdaya.
“ssssttt. Sudah ah gak usah nangis. Kak saskia sama ibu sama mas Danar masih tinggal di sini. Kalau kalian kangen datang aja. Nanti kalau kakak ada waktu kakak akan samperin kalian kakak janji. Udah ya jangan nangis. Kalau kalian nangis. Ibu juga nangis tu lihat,” ucapku sambil menunjuk ibu yang tak kuasa lagi memendam perasaan sakit hatinya kehilangan 9 anak yang dia cintai selama 3 tahun ini. “yang penting ingat kata – kata kakak yaa. Jangan menyerah dengan keadaan. Letakkan cita – cita kalian setinggi lagit di angkasa. Terus berusaha untuk menggapainya. Kalian punya orang – orang hebat di sekeliling kalian. Meskipun kalian tidak memiliki orang tua. Ok ?” pesanku yang membuat mereka lebih tenang,
“Fatia mau disini sama kak Saskia.” Ucap adik kecilku itu dengan suara khasnya.
Benar benar susah untuk melepas mereka. Aku pun berlutut. Ku buka tanganku lebar – lebar dan membiarkan mereka memelukku. Mereka pun akhirnya pergi. Kami bertiga melepas kepergisn mereka. Keadaan rumah kembali seperti tiga tahun yang lalu begitu sepi, rasanya sangat aneh. Biasanya ada aku dan Mas Anjar yang selalu bertengkar dan membuat gaduh rumah ini. Tapi sekarang Mas Anjar memutuskan untuk pergi dan tinggal bersama bapaknya.
“Kia, tau gak kenapa ibu mau adopsi kalian semua?” tanya ibu dengan wajah yang mulai pucat dan keriput.
“ya karena Ibu baik, ibu sayang sama kita.” Jawabku dengan yakin.
“umm, itu juga benar tapi yang lebih penting adalah ketika ibu sudah semakin tua ibu tidak sendirian.” Jawab ibu dengan memandangku dalam – dalam.
Brrrrrrrrrrrm .... brrrrrrrrrrrrrrrmm................
Suara motor dion menggelegar di luar rumah. Aku segera berlari dan mencium ibu dan mas Danar. Saat ini hubunganku dengan Dion semakin dekat. Mas Danar pun sudah mengenalkan calon istrinya kepada ibu. Patah hati sih. Tapi aku harus mengambil nilai positifnya. Karena dengan ini aku akan memulai kisah cintaku dengan Dion.
“Cantikk,, aku dengar bulan depan kamu mau ke Jepang buat pertukaran pelajar ya?” tanya Dion sambil terus mengendarai motor besarnya.
“Iya sih. Tapi ibu gak punya uang sebanyak itu untuk kasih modal aku ke Jepang.” Jawabku.
“Bukannya kamu hanya dibebani 30% dari total biayanya?”
“30% itu tetap besar buat ibuku, Dion.”
“umm, gto ya. Ya udah deh biar aku yang ke ajepang aja ganti’in kamu. Gimana ?”
“yaudah terserah kamu.” Jawabku sedikit kesal.
Sesampainya di sekolah aku langsung turun dan masuk ke kelas.
“kamu kenapa Kia?” tanya Vera.
“Cowok macam apa tu. Masak mau ngrebut prestasti ceweknya?” jawabku dengan cemberut.
“maksudmu siapa? Dion? Emang kalian sudah jadian? Tanya vera menyudutkanku.
“belum belum lah.”
“abis kamu juga gitu biarin aku yang bayarin kamu ke Jepang. Kamu gak mau.”
“aku gak enak ngrepotin kamu terus Ver.”
Dari kejauhan Dion mulai menampakkan batang hidunganya.
“Cantik, kamu marah ya? Aku Cuma bercanda kok kia,” rayu Dion kepadaku. “Ntar, abis pulang sekolah kita urus passport kamu ya.”
Aku terdiam tidak berkata. Di pikiranku aku hanya ingin memeluknya dan mengucapkan terima kasih banyak Dion Setibanya di rumah.
“makasih ya Dion. Aku gak tau diri ya?”
“gak kok cantik. Aku Cuma ingin lihat kamu senang. Kamu bisa raih cita – cita kamu selama ini.” Jawab Dion sambil memegang tanganku.
Wajahnya begitu dekat, semakin dekat. Apakah ini akan menjadi ciuman pertamaku. Aku coba untuk santai meskipun jantungku serasa seperti meletus. Kupejamkan mataku. Dingin mulai mengalir dari kaki sampai ke ubun – ubun. Waktu serasa berhenti berdetak. Semakin dekat wajahnya denganku. Kurasakan hembusan nafas dari hidungnya. Wajahnya benar – benar sudah berada di depanku saat ini.
“Kia, sudah malam. Suruh Dion pulang.” Teriak Ibu dari dalam.
Ku buka mataku dan ku lihat wajahnya yang memerah. Dan kami pun tertawa terbahak – bahak. Konyol banget sepertinya.

- Tunggu selanjutnya -