Selasa, 16 Oktober 2012

Cerita Pertama


Seiring dengan berjalannya waktu aku mulai menyadari bahwa sesungguhnya aku tidak sendiri. Mereka ada untuk membantu dan mewujudkan semua mimpiku.
Kehidupan ini ku mulai. Saatnya aku dewasa dan terlepas dari peraturan-peraturan yang membelengguku sebagai anak - anak. Aku saskia ananda, saat ini usiaku menginjak 18 tahun. Saat ini adalah  saat – saat perpisahan dengan ibu asuhku di Panti Asuhan Kasih Ibu . Berat memang untukku melepas senyum, simpati dan keramahannya. Pagi, siang dan malam aku tak bisa lepas dari ibu yang sudah ku anggap seperti ibu kandungku sendiri.
“Kia, ibu tahu ini berat. Tapi sudah saatnya kamu untuk lebih mandiri, Nak. Suatu saat kita pasti akan bertemu. Mungkin kamu tidak ibu lahirkan dari rahim ibu. Tapi sungguh demi apapun Ibu benar – benar menyayangimu.” Itulah pesan terakhir yang Ibu Laela sampaikan sebelum aku beranjak menginjakkan kakiku melewati pintu pagar yang terbuat dari kayu – kayu tua yang catnya pun sudah Pudar.
Aku tak kuasa lagi berdiri. Ku peluk ibuku dengan penuh air mata. Hingga membasahi baju yang menutupi bahunya. Ibu Laela adalah ibuku meski beliau bukan ibu kandungku. Ku hormati dan ku sayangi beliau. Rasanya belum puas aku memeluknya, tapi supir taksi itu sudah lama menungguku. Aku harus segera pergi. Kupandangi tatapannya. Aku rasakan apa yang dia rasakan. Oh, Tuhan andaikan aku bisa mengajak ibuku serta.
Pagi yang begitu indah. Matahari pagi mulai memasuki celah – celah jendela kamarku yang baru saja aku mulai untuk membersihkannya.
“Kia, bangunkan adik – adikmu. Dan segera kemari bantu ibu menyiapkan sarapan.” Teriak ibuku yang sebenarnya menjengkelkan tapi mau bagaimana lagi di sini aku yang paling tua dibanding adik – adikku.
“Iya bu.” Segera aku membangunkan seluruh adik – adikku yang jumlahnya ada 9 anak. 6 perempuan dan 3 laki – laki. Begitu ramai kalo mereka bangun dan membuat gaduh. Bagaimana tidak usia mereka rata – rata 10 tahun.
Ku mulai dari kamar pertama yang isinya ada 6 anak perempuan di sana. Yang kedua tertua setelah aku namanya Fitria usia 12 tahun baru saja masuk SMP. Atma dan Nada usia 10 tahun kelas 5 SD. Lala dan Nurul baru usia 8 tahun kelas 3 SD. Fatia usia 3 tahun baru saja ibu terima 2 minggu yang lalu.
“Ayo semuanya bangun. Lekas mandi mau sampai jam berapa kalian tidur?” teriakku. Sebenarnya aku tidak galak tapi aku hanya ingin membuat mereka tertib dan disiplin. Ku biarkan Fatia tidur. Kasian dia belum mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya. Jadi dia terus menangis memanggil ibunya.
Ku lanjutkan ke kamar berikutnya. Tadinya di kamar ini ada 5 anak laki – laki tapi Mas Anjar dan Mas Danar sudah dewasa dan dia harus pergi dari panti asuhan ini. Tinggal Farid, Dino dan Angga. Mereka sebentar lagu lulus SMP.

“Sudah bangun mereka, Kia?” tanya ibuku sambil terus memandangi tempe yang ada di penggorengan. “Sudah, Bu. Mereka sudah siap di meja makan. Aku akan antar makanan ini dulu.” Jawabku sembari melangkah pergi dari dapur dan membawa sebakul nasi di tanganku. “Iya, kamu juga makanlah biar Ibu yang lanjutkan ini. Nanti kamu terlambat lagi.”
Kuletakkan makanan – makanan itu di atas meja. “Ayo segera makan. Sudah siang. Kakak gak mau datang ke sekolah lagi kalau kalian ada yang terlambat.” “Iya kak.” Jawab mereka serempak. Senangnya melihat mereka semua sudah mulai menemukan jati diri mereka, berbeda jauh saat mereka pertama kali masuk di sini.
Aku sendiri adalah anak ketiga Ibu. Aku datang ke sini diantar kakekku yang memang sudah tidak sanggup lagi merawatku. Sedangkan aku pun tidak tahu siapa ayah dan Ibuku. Awalnya ibu tidak ingin membuka panti Asuhan ini. Ibu hanya sesosok janda tua yang berhati emas. Ibu membawa mas Anjar pulang saat ia menjadi kuli panggul dan membantu membawakan barang – barang ibu.
“Dek, berapa umurmu?” tanya ibu kepada mas Anjar.
“10 tahun bu.” Sambil keberatan membawa barang – barang belanjaan ibu.
“apa kamu tidak sekolah?”. “tidak ada uang bu.” Jawab mas Anjar dengan menunduk. “apa pekerjaan ayah dan ibumu?” tanya ibu dengan penuh keingintahuan. Suasana hening sesaat. Kemudian mas Anjar menjawab. “Ibu saya sudah lama pergi bu dan tidak pernah pulang. Mungkin sudah lebih dari 5 tahun. Sedangkan ayah saya adalah seorang pemabuk berat bu. Saya tidak betah di rumah.” Jawab mas Anjar yang kemudian mulai menangis. Ibu pun mulai jatuh hati kepada mas Anjar. Ibu berniat untuk membawa mas Anjar pulang. “Dimana rumahmu Nak? Bawa ibu bertemu dengan ayahmu.” Pinta ibu.
Mereka pun berjalan melalui gang – gang sempit di belakang pasar keadaan begitu kumuh dan bau yang tidak sedap. “Ini bu rumah saya.” Mas Anjar menunjuk sebuah rumah yang sangat tidak layak huni. Hanya ada satu pintu tanpa jendela. Rumah itu hanya beratap terpal biru yang sudah kucel. Bahkan warnanya hampir menghitam.
“Bapak, ada yang mau ketemu bapak.” Teriak mas Anjar. Munculah seorang laki – laki yang sangat tidak enak dipandang. Bau tubuhnya bahkan sebelum dia keluar sudah tercium bau alkohol yang sangat menyengat. Sambil gentoyongan dan mencoba untuk membuka matanya dia menemui Ibu. Sebenarnya ibu takut tapi ibu tetap berusaha tenang.
“Maaf pak. Maksud dan tujuan saya datang ke sini. Untuk meminta ijin membawa anak Bapak pulang dan tinggal bersama saya di rumah. Saya berjanji akan merawat dan menjaga dia seperti anak saya sendiri. Saya hanya seorang Janda Purnawirawan TNI yang mandul. Saya kehilangan suami saya saat beliau sedang bertugas. Kiranya bapak sudi ?” tanya ibu to the point.
Seketika keadaan menjadi hening. Bapak itu dan Mas Anjar sama – sama tertegun tak berucap.
“sa.. sa.. saya Bapak yang gagal, bu. Istri saya pergi dengan pria lain karena saya tidak bisa menafkahi istri dan anak saya. Anjar merupakan anak saya satu – satunya. Tapi saya tidak layak disebut Bapak, bu. Anak saya begitu membuat saya lemah. Saya tidak sanggup membahagiakannya. Saya malu, bu.” Bapak itu pun menangis sejadi – jadinya. Begitu juga dengan mas Anjar.
“Nang, pergilah sama ibu ini. Bapak ikhlas. Bapak malu tidak sanggup membahagiakan kamu. Bapak gagal menjadi bapakmu. Kamu bilang kamu ingin sekolah kan, Nang? Bapak gak bisa sekolahin kamu, Nang. Tapi ibu ini bisa. Ikutlah dengannya. Kelak Bapak ingin lihat kamu menjadi anak yang pandai. Kamu jadi anak yang berhasil. Kamu datang menemui Bapak dengan memakai dasi dan setelan mahal. Bapak ingin, kamu ajak Bapak naik mobil keliling kota.” Ucap Bapak itu dengan berlutut dan memegang Bahu Mas Anjar.
“Anjar sayang Bapak.” Mas Anjar kemudian memeluk bapaknya. Peristiwa itu membuat Ibu menangis.
“Gimana, Njar? Kamu mau ikut ibu atau gak ? ibu akan sekolahin kamu. Nanti kalau kamu sudah dewasa kamu bisa kerja dan kembali menemui Bapakmu.” Kata ibu meyakinkan.
“Anjar mau, Bu.” Jawab mas Anjar.
Mulai saat itu Ibu merawat mas Anjar dengan penuh kasih sayang.
Saatnya aku berangkat ke sekolah. Setelah aku selesai membereskan meja makan dan membantu ibu mencuci piring. “Ibu, kia berangkat dulu.” Ku cium tangan ibuku yang sudah mulai keriput. “Iya kia, hati – hati.” Sambil memandikan Fatia yang sudah mulai nakal. Tak lupa aku mencium pipi adik baruku itu.
Ini adalah tahun pertamaku memasukui dunia Sekolah Menengah Atas. Aku bersekolah di SMA N 6 Pekalongan dengan beasiswa. Aku berhasil mendapatkan beasiswa ini benar – benar dengan perjuangan. Aku harus belajar di tengah suasana yang ramai teriakan anak – anak bertengkar belum lagi setiap malam aku pun harus mengajari mereka mengerjakan PR. Tapi Alhamdulilah aku bisa lulus dengan nilai terbaik sekota Pekalongan. Dan akhirnya aku mendapat beasiswa dari Walikota. Aku tidak akan menyia – nyiakan kesempatan yang sudah Tuhan kasih. Aku akan belajar giat dan meraih mimpiku menjadi seorang perawat.
“krrrrrrriiiiiiinggggggggg.....krrrriiiiiiiiiiiiiiiiinnggg....” bel sekolahku sudah berbunyi. Tepat saat aku akan memasuki pintu gerbang.
Aku langsung berlari dan segera menempati tempat duduk yang biasa aku tempat bersama sahabatku Vera. Vera adalah gadis kaya yang sangat baik. Bahkan tas dan sepatu yang aku pakai saat ini adalah pemberian darinya. Dia cantik, pintar dan baik hati. Aku pun heran mengapa dia memilihku menjadi sahabatnya. Dia bilang karena aku adalah orang yang tulus.
Selayaknya gadis – gadis puber pada umumnya aku pun mulai menaruh hati dan simpati kepada lawan jenis. Namanya Eka, dia adalah sang Ketua OSIS. Pribadinya yang begitu humble dan bersahaja membuat banyak gadis memperhatikannya. Begitu juga dengan sahabatku Vera. Dengan sedikit terpaksa aku memendam dalam – dalam perasaanku sama kak Eka. Mana mungkin aku mampu bersaing dengan sahabatku sendiri. Asal sahabatku bahagia aku pun juga. Akhirnya mereka berdua pacaran. Dan aku tidak menyesal semua itu terjadi. Karena dengan mereka pacaran kak Eka jadi rajin datang ke kelas. ^_^
Tapi aku gak jelek – jelek amat lho. Buktinya ada Dion yang sampai sekarang tidak berhenti ngejar – ngejar aku. Dia temenku sewaktu SD. Kita teman sebangku karena waktu itu aku Peringkat 1 dan dia peringkat 2. Mulai saat itu dia jadi baik banget sama aku. Tapi karena aku masih kecil aku tidak pernah mengerti apa maksudnya semua itu. Sampai pada saat kelulusan SD dia bilang mau terus sama aku.
“Saskia, aku .. aku .. suka sama kamu. Kamu mau gak jadi pacarku?” tanya dia dengan muka merahnya.
“apa? Kita masih kecil. Kita gak boleh pacar – pacaran.” Jawabku dengan polosnya. “Kita tetap jadi teman aja. Aku juga suka kok sama kamu.”
“bener Saskia? Kemanapun kamu pergi aku akan tetap ikut bersamamu. Aku akan satu sekolah terus sama kamu Kia. Kalau bisa aku ingin tetap sebangku sama kamu.” Ucap dion dengan tampang penuh semangat.
Ternyata benar apa yang dia bilang. Karena dia anaknya orang kaya jadi apapun yang dia mau dia bisa dapatkan. Dia mau satu sekolah sama aku sampai satu kelas dan menjadi teman bangkuku. Selama 9 tahun. Hingga akhirnya aku lulus SMP dan memulai SMA. Dia pun berhasil masuk ke SMA yang sama namun karena dia mencoba memintaku untuk menjadi pacarnya lagi. Dan untuk kedua kalinya jawabanku masih sama seperti itu. TIDAK. Akhirnya dia berhenti merengek kepada ayahnya untuk satu kelas lagi denganku.
Semester 1 telah usai, kita telah memasuki semester ke 2. Teman – temanku sudah semakin banyak dan persahabatanku dengan Vera pun semakin erat. Bahkan dia sering menginap di Panti saat orang tuanya keluar negeri untuk bisnis. Meskipun keluarga itu begitu kaya namun tidak pernah aku melihat kesombongan keluar dari mulut mereka. Mereka juga salah satu donatur tetap di Panti Asuhan Kasih Ibu.
“Assalamualaikum, bu.” Aku memasuki rumah panti. Ku lihat di ruang tamu ada 1 cangkir kosong yang masih berbau teh.
Segera aku masuk ke kamarku dan lekas mengganti baju lalu beranjak ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Selama itu yang ku lihat hanya adik – adikku yang sedang beristirahat. Setelah aku selesai melakukan sholat Dzuhur ku. Aku langsung menemui adik – adikku.
“Fit, Ibu dimana?” tanyaku kepada Fitria yang sedang mencoba menidurkan Fatia di gendongannya.
“tadi Mas Danar ke sini. Terus ngajak Ibu pergi. Ibu bilangnya sih gak lama. Mungkin sebentar lagi mereka pulang.” Jawabnya.
“Oo. Kalian sudah makan kan? Mana tiga serangkai (Farid, Dino, Angga) ?” tanyaku.
“Sudah kak. Piringnya juga sudah ku cuci semua. Kak Farid, kak Dino sama kak Angga tadi habis makan siang. Langsung ke rumah temannya katanya mau belajar kelompok buat persiapan ujian. Adik – adik sudah pada tidur.” Jawabnya dengan menguap.
“sini biar aku yang menidurkan Fatia. Kamu tidur aja.” Jawabku dengan mengambil Fatia yang sudah mulai tertidur dari tangan Fitria.
“Iya kak.” Jawabnya.
Sambil menggendong Fatia aku terus memikirkan Ibu dan Mas Danar. Mas Danar adalah anak asuh Ibu yang kedua setelah Mas Anjar. Mas Danar tinggal bersama ibu saat usia Mas Danar 12 tahun. Tepat 2 tahun setelah ibu mulai mengasuh Mas Anjar. Mas Danar adalah anak dari teman Ibu.
Waktu itu orang tua mas Danar datang ke rumah panti saat hari sudah hampir tengah malam.
“La, aku titip Danar di sini sama kamu ya. Soalnya ini aku dapat kabar kalau mertuaku yang di Samarinda meninggal tadi sore. Aku harus buru – buru ke Semarang soalnya besok pagi aku harus naik kapal ke Samarinda.” Kata ibu Mas Danar dengan raut sedih di wajahnya.
“ya mbak ya. Di pekalongan cuma mbak yang bisa saya minta’i tolong. Kami gak bisa bawa Danar soalnya uang kami gak cukup buat kami bertiga.” Pinta ayah mas Danar dengan memelas.
“Aduh. Gimana ya? Ya sudahlah. Aku turut berduka cita ya Mas, Eni. Anakmu biar sama aku.” Jawab ibu.
“Makasih ya mbak. Nar, kamu sama Bude Laela dulu ya. Mama sama Papa gak lama kok. Mama sama Papa sayang sama Danar. Danar jangan nakal ya. Tunggu sampai Papa pulang.” Kata Bapak mas Danar sambil memeluk mas Danar.
Mereka pun langsung pergi menuju semarang untuk naik kapal menuju Samarinda. Tiba – tiba ada sesuatu yang terjadi. Perasaan tidak nyaman hadir dalam hati Mas Danar.
“Bude, papa sudah telepon belum? Harusnya papa sudah sampai di Semarang tadi subuh kan Bude?” tanya mas Danar dengan cemas.
“Mungkin papa mu lupa, Nar. Soalnya pikirannya kan juga masih kemrungsung. Kamu jangan cemas. Sudah sana berangkat sekolah.” Jawab ibu. “Njar, sudah belum? Ini Danar sudah siap. Sana buruan berangkat.” Teriak ibu memanggil Mas Anjar yang masih di kamar mandi.
# Selamat pagi pemirsa, saat ini saya sedang berada di Jalan Raya Kendal Kabupaten Semarang. Dini hari tadi terjadi kecelakaan beruntun antara Bus Seroja Indah dari Jakarta yang bertujuan ke Surabaya, 1 Truk tronton bermuatan beras yang akan dikirim ke Semarang, serta 2 minibus. Saat ini ditemukan 18 orang tewas dan 20 lainnya luka – luka. Korban tewas diketahui seluruhnya dari Bus Seroja Indah. Karena Badan Bus terjepit Badan Truk Tronton yang terguling ke samping. Berikut adalah identitas Para Korban#
Keadaan begitu hening. Tiba – tiba air mata menetes dari mata Mas Danar saat diketahui nama orang tuanya tertulis di berita Pagi yang disiarkan oleh salah satu TV swasta yang biasa dilihat ibu saat sarapan.
“Pa...pa...paa. Ma...ma...maa.. mamaaah. Papaaaah...” teriak Mas Danar sambil terduduk lemas menahan luka di hatinya. Mas Danar begitu sedih hingga tak ada kata yang bisa Mas Danar ungkap. Kecuali hanya menyebut mama dan papa.
“Danar, nyebut nang. Astagfirulah al adzim. Astagfirulah al adzim.” Kata ibu menenangkan mas Danar yang terpaku tanpa pandangan.
“Bude, papa bude. Mamaku bude. Huaaa.....” Tangisan mas Danar pecah saat itu juga.
#Korban tewas saat ini sedang diadakan otopsi di Rumah Sakit Tugu Semarang#
“Ayo, bude antar kamu ke semarang. Kita lihat benar atau tidak itu Papa Mamamu. Bangun nak. Njar, kamu segera berangkat sudah siang. Nanti kamu di rumah sendiri dulu ya. Ibu mau antar Danar ke Semarang. Ibu nanti pulangnya agak malam jangan lupa kunci pintu.” Kata ibu. Sambil menyuguhkan air ke mulut Mas Danar. “Ayo nang bangun.” Kata ibu berusaha mengangkat mas Danar.
“Ibu, Anjar berangkat dulu ya.” Sambil mencium tangan ibu. “Nar, kamu yang tabah ya. Aku doakan yang terbaik buat orang tuamu.” Sambil menepuk pundak Danar.
Ibu dan Mas Danar pun berangkat ke Semarang. Sesaat kemudian sampailah mereka ke Rumah Sakit dimana orang tua Mas Danar dirawat.
Tangis mereka pun pecah saat mengetahui bahwa Papa dan mamanya Mas Danar benar – benar menjadi korban tabrakan beruntun itu. Sesegera mungkin ibu menghubungi keluarga besar Mas Danar yang ada di Makasar. Dan diputuskan jenazahnya akan dimakamkan di Makasar. Begitu juga dengan Mas Danar. Dia akan dirawat oleh om dan tante nya yang ada di Makasar.
Tiga bulan setelah peristiwa itu terjadi. Mas Danar memutuskan kembali ke Pekalongan untuk menuntut ilmu di sini. Mungkin karena dia tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan makanan di sana. Dan dia meminta Ibu untuk mengangkatnya menjadi anak asuh. Sedangkan biaya bulanan mas Danar akan dikirim oleh om dan tantenya yang ada di Makasar.
“Assalamualaikum..” sapa dari luar.
Ternyata itu ibu dan Mas Danar. Di kedua tangan mas Danar ada 2 Palstik besar yang aku tebak itu adalah belanjaan buat sebulan. Mugkin mas Danar ke sini untuk memberi bahan – bahan pokok bulanan buat Panti ini. Sekarang Mas Danar sudah bekerja di Jakarta. meskipun Cuma lulusan STM namun mas Danar berhasil jadi teknisi di sebuah bank. Gajinya pun cukup banyak.
“Halo nduk.” Sapa mas Danar sambil mengoyak rambutku.
“Halo mas.” Jawabku dengan tersipu.
“adik – adikmu mana nduk ?” tanya mas danar sambil duduk di sampingku.
“kalo yang cewek2 lagi pada tidur. Yang cowok2 belajar kelompok buat persiapan ujian. Mas, aku pindahin Fatia ke dalam dulu ya.” jawabku.
“ibu sholat dulu ya. Kamu temenin mas Danar dulu.” Teriak ibu dari dalam kamar mandi.
“iya ibu.” Setelah aku memindahkan Fatia ke kamar. Aku langsung menemui Mas Danar lagi. “Apa kabar Mas Danar?” tanyaku dengan tersipu. Yang sudah tidak sanggup lagi memendam rasa rinduku padanya.
“baik nduk. Kamu gimana? Sekolahmu masih baik – baik aja to? Jangan sampai beasiswamu dicabut gara – gara kebanyakan pacaran. Hehe.” Ledek mas Danar.
“gak yo mas. Aku gak punya pacar.” Jawabku malu – malu.
“eh, padahal gak ketemu 8 bulan aja lho, Adikku udah lebih besar rupanya. Sekarang udah tau pacar – pacaran. Apa kamu mau jadi pacarnya mas aja? Hehehe.”
Kata – kata itu membuatku tak berucap. Dalam hati berpikir senangnya kalau Mas Danar jadi pacarku. Dari pertama aku masuk kesini aku sudah menaruh hati dengan Mas Danar. Piawainya yang pendiam, tenang membuatnya terlihat sangat dewasa. Meskipun usiaku saat itu masih 10 tahun. Tapi pandanganku kepadanya bukan sebagai kakak. Karena dia perlakukan ku begitu istimewa. Setiap kali aku bertengkar dengan mas Anjar. Mas Danar selalu membelaku.
“Woii, kok diem?” teriak mas Danar yang hampir membuat jantungku keluar dari rusukku.
“e.. e.. gak kok mas. Gimana kerjaannya mas Danar? Pernah ketemu artis gak mas di Jakarta?” tanyaku dengan mencoba lebih santai.
“aku dipecat nduk.” Jawabnya dengan raut muka sedih.
“beneran mas? Kok bisa? Emang mas salah apa kok sampai dipecat?” tanyaku dengan setengah tidak percaya.
“dibohongi masmu kamu, kia. Masmu dipindah tugas ke Pekalongan.” Jawab ibu keluar dari kamar.
“hahahahahahaha. Kena kamu nduk.” Ledek mas Danar dengan ketawa terbahak – bahak.
Ku tundukkan kepalaku sambil senyum dalam hati. Berarti mas Danar akan tinggal di sini bersama aku. Wah wah wah. Istimewaa.
Keesokan harinya pagi berjalan seperti biasa. Bedanya mas Danar ada di sini. Dan semua itu mengingatkanku dengan masa lalu.
Lima tahun yang lalu. Aku dibawa kakekku ke Rumah Panti ini. Waktu itu rumah ini hanya rumah biasa yang ditinggali seorang wanita janda dengan 2 anak asuhnya. Kakek mendengar kabar bahwa ada seorang wanita yang berhati baik mau membantu orang – orang yang benar2 butuh pertolongan.
Aku hidup dengan kakek sejak kecil. Sedangkan aku tidak tahu ayah dan ibuku siapa. Tidak pernah aku bertanya dan tidak pernah kakek menceritakannya kepadaku. Kakekku hanya seorang buruh tani. Beliau bekerja keras seorang diri untuk membayar biaya sekolahku. Kakek memasakkan makanan untukku, hingga akhirnya aku bisa masak sendiri dan berbalik aku hidangkan makanan untuk kakek.
Suatu hari ada seorang pria paruh baya yang datang ke rumah. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Aku hanya menyuguhkan minuman dan kemudian masuk kembali ke belakang. Saat itu aku dengar kakek begitu marah dan mengusir orang itu pergi. Aku berpikir dalam hati apakah pria itu adalah ayah kandungku. Namun aku tertegun saat mendengar kalau pria tersebut hendak membawaku ke kota dan kakek akan diberi uang yang sangat banyak. Saat itu aku belum mengerti mengapa kakek marah. Padahal aku akan diajak ke kota. Mungkin karena waktu itu kakek tidak diajak.
Namun semakin lama aku mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Aku diajari kakek untuk menjadi wanita yang tangguh tidak boleh bersedih dan menyerah dengan keadaan. Kakek mengajariku sholat dan mengaji. Apapun yang terjadi tetaplah berpegang pada imanmu.
Lambat laun usia kakek semakin tua. Beliau sudah mulai sakit – sakitan dan tidak sanggup lagi bekerja. Uang simpanan kami lama kelamaan habis untuk makan sehari – hari. Hingga akhirnya suatu hari aku tidak menemukan 1 liter beras pun untuk aku masak.
“Kek. Kok belum ada nasi? Aku lapar. Tadi pagi aku kan belum sarapan. Kakek bilang katanya mau beli beras buat dimasak nasi. Kakek bilang kalau nanti aku pulang. Nasi sudah ada. Mana kek? Aku lapar.” Eluhku sambil menangis memegang perutku. Memang dari semalam aku belum makan karena memang beras kami sudah habis. Paginya aku pun harus nyuci baju langsung berangkat sekolah. Rasa lapar dan lelah membuatku egois dan tidak memikirkan perasaan kakek.
“Kakek juga laper, kia. Kakek juga belum makan. Tadi pagi kakek mau cari kayu di kebun untuk dijual. Nanti hasilnya bisa buat beli beras. Tapi kakek begitu lemas. Kakek tidak bisa bangun dari tempat tidur. Kakek minta maaf kia.” Jawab kakek sambil meneteskan air mata.
Mendengar ucapan kakek. Hatiku tertegun tak berdaya. Aku benar – benar merasa bersalah.
“Kakek, maafin aku. Hua hua hua.” Aku langsung menangis dan memeluk kakekku yang hanya bisa tertidur di ranjang tua tanpa kasur.
Aku pun langsung berlari keluar. Aku pergi ke kebun tetangga – tetanggaku. Dengan ijin mereka aku mengumpulkan kayu – kayu yang berjatuhan di tanah. Melihat itu semua tetangga sebelahku dengan senang hati memberiku sayur yang bisa aku makan bersama kakek. Dan nasi sisa yang keadaanya masih bagus memang. Aku segera pulang dan meletakkan kayu – kayu yang tadi aku dapat. Aku suapi kakekku dengan nasi dan sayur tadi aku senang kakek tersenyum lagi. Setelah kami makan. Aku segera ke pasar menjual kayu yang tadi ku dapat. Uang yang tak seberapa itu aku bawa pulang.
Keesokan harinya. Aku membawa kakek ke puskesmas terdekat.
“Ini obatnya. Diminum 3 kali sehari setelah makan ya.” Kata Bu dokter dengan sabar.
“Iya bu dokter.” Jawabku. Sebenarnya terlalu dewasa untuk aku melakukan semua ini. Tapi aku telah diajarkan kakek untuk menjadi anak yang tangguh dan jangan menyerah dengan keadaan.
“kamu gak sekolah kia?” tanya kakek saat perjalanan pulang dari puskesmas.
“sekolahnya libur kok kek.” Jawabku dengan yakin. Dalam hati sebenarnya aku merasa bersalah membohongi kakek. Tapi aku harus bekerja untuk bisa tetap bertahan hidup.
Aku putuskan untuk menjadi pedagang asongan di pasar. Uang hasil jualan aku kumpulkan sedikit demi sedikit karena begitu besar kasih kakek untukku maka aku harus membalasnya.
Suatu hari kakek mengajakku ke suatu tempat. Sebuah rumah yang besar di depan rumah tersebut ada kebun yang luas. Ku lihat ada seorang wanita sedang asyik berkebun. Saat aku datang. Dia segera membukakan pintu dan mempersilahkan kami duduk.
“maaf, ada apa ya pak?” tanya ibu itu.
“begini bu. Saya bermaksud menitipkan cucu saya di sini.”jawab kakek sambil terbatuk – batuk
“kesehatan saya semakin lama semakin menurun. Saya tidak bisa membiarkan anak sekecil dia bekerja untuk membeli 1 liter beras dan seikat sayur setiap harinya,”
Jadi selama ini kakek tahu kalau aku tidak sekolah tapi berjualan asongan untuk bisa membuat kami bertahan hidup.
“saya dengar ibu memiliki 2 anak asuh tinggal bersama ibu. Biarkan cucu saya ini juga menjadi bagian keluarga ibu.” Pinta kakek dengan penuh keharuan.
“Kakek... kakek mau kemana? Kia ikut..” seruku dalam hati.
“pak. Maaf sebelumnya. Bukannya saya tidak bisa menolong. Tapi ini bukan panti asuhan pak.” Kata ibu itu menjelaskan.
Kakek hanya terdiam. Dan mencoba meminta belas kasih dari ibu itu.
“tidakkah di hati ibu merasa iba. Seorang anak perempuan menjual asongan. Menyianyiakan masa mudanya dengan bekerja menghidupi kakeknya yang suadah tua dan tidak sanggup berbuat apa – apa. Jujur di dalam hati begitu besar keinginan saya untuk bisa membesarkan saskia yang sudah saya anggap seperti anak saya. Namun apa daya raga ini sudah tidak mampu lagi berjuang. Istri saya sudah lama meninggal. Saya hanya memiliki 1 orang anak dan itu ibunya saskia. Ayah saskia pergi entah kemana saat ibu saskia mengandung saskia. Anak saya mengalami komplikasi penyakit yang diturunkan dari istri saya. Anak saya memilih untuk melahirkan saskia dan mengorbankan nyawanya.” Ucap kakek dan dengan tidak sengaja meneteskan air mata.
Ibu itu pun langsung memelukku.
“baiklah pak. Saskia biar saya yang rawat. Bapak tidak perlu cemas. Saya akan berusaha membuat  cucu bapak bahagia di sini.” Kata ibu itu.
“Kia, kamu sama ibu Laela dulu ya. Kakek mau pergi jauh. Kia gak usah ikut.” Ucap kakek.
“kia ikut kakek. Kia ikut kek..”tangisku meronta ronta.
Aku benar – benar lemah tak berdaya. Aku hanya ingin ikut kakekku saat itu. Namun kasih sayang Ibu Laela membuatku terlena. Kasih sayang seorang ibu yang sangat kurindukan. Tak lama setelah itu aku mendapat kabar kalau kakekku meninggal. Aku benar – benar terpukul. Aku pulang ke rumah kakek. Aku datang ke makam kakek yang masih baru. Aku menangis berlutut. Hanya doa yang bisa ku panjatkan untuk kakek. Semoga kebaikan kakek selama hidup di dunia bergantikan kebahagiaan di alam sana. Amin.
“Hayo, nglamunin pacarnya ya?” seru mas Danar membuatku terlepas dari lamunku. “ayo berangkat. Bareng mas. Kantor mas searah sama sekolahmu.” Ucap mas Danar sambil menarikku.
“bentar mas. Aku belum pamit ibu. Aku pamit dulu ya.” Ujarku.
Setelah aku berpamitan dengan ibu. Aku langsung keluar menemui mas Danar. Getar – getar perasaan itu masih ada. Dan itu membuatku tak sanggup untuk berkata – kata.
“udah sampai. Ayo turun. Apa mau ikut mas kerja?” ucap mas Danar.
“gak lah. Makasih ya mas.” Ku cium tangan mas Danar lalu berlari menuju gerbang. Menyembunyikan perasaan gugupku.
“Hayo pacar kamu ya.”ucap vera yang tiba – tiba berjalan di sampingku.
“apaan sih. Itu masku tau. Kok tiba – tiba kamu di sini kayak setan aja.” Jawabku.
“Oo. Mas Danar yang sering kamu cerita’in ke aku itu kan? Cie cie. Ada yang lagi C L B K ni?” ledek vera.
“terserah.” Jawabku sambil berlari menuju kelas.
“ye malu.. malu ni yee..” teriak vera dengan terus mengejarku.
Kulihat Dion sekarang berbeda. Dia lebih dewasa dan keren. Tampang yang cupu dan kutu buku. Sekarang berubah menjadi pria yang senang berolahraga basket dan futsal. Namun dia tetap menjadi terpandai kedua setelah aku. Dipikir – pikir agak menyesal juga dulu aku tolak dia. Sekarang dia bukan lagi anak papah. Dia berangkat sekolah sendiri dengan motor ninja RR 4 tak yang membuat dia makin keren.
“Dion, nyesel deh dulu aku tolak kamu,” seruku dalam hati.
Buuug..
Tiba – tiba semua gelap. Saat aku buka mataku ternyata aku sudah ada di uks sekolah. Di sebelah kiriku ada Vera dan Kak Eka. Di sebelah kananku ada Dion dan teman – teman dari club basketnya.
“eh kamu sadar juga. Aku siapa coba?” tanya Dion aneh.
“Gila kamu. Ya kamu Dion lah. Masak sutopo?” jawabku dengan memegang kepalaku yang sepertinya gagar otak.
“hahaha.” Vera dan kak Eka hanya tertawa.”Syukur deh kalau kamu baik2 aja kia.” Tambah vera.
“emang tadi aku kenapa sih Ver? Pingsan ya?” tanyaku bingung.
“sorry ya cantikku kia. Tadi aku gak sengaja lempar bola eh kena kamu. Kamu sih aku suruh minggir2 malah senyum2.” Ujar Dion.
Dion memang sering memanggilku cantik. Biasanya sih aku mual. Namun kali ini hatiku berbunga – bunga.
“Tuh kan nglamun lagi. Kamu kesambet apa ya kia?” tanya Dion.
“Gak kok. Udah udah sana keluar. Aku mau istirahat. Kepalaku pusing.” Jawabku menutupi malu.
“oke deh. Sebagai ucapan maafku. Ntar kamu pulang aku anterin ya cantik.” Ujar Dion dengan senyum manisnya.
“iya iya terserah.” Sambil membalikkan badanku ke dinding untuk menyembunyikan mukaku yang memerah.
“mau mampir gak?” tanyaku ke Dion yang sudah mengantarku sampai di depan rumah panti.
“gak usah deh, Kia. Makasih. Aku ada jadwal futsal nih abis ini.” Jawabnya.
“Futsal? Sama temen – temenmu yang keren itu. Ajak aku dong Dion, please.” Ujarku dalam hati.
“yaudah ya. Aku cabut. Salam buat ibu Laela. Lama aku gak main sini. Jangan sering nglamun lagi. Umm ntar malem aku telepon deh. Daa kia.” Ucapnya sembari berlalu pergi dengan suara motor kerennya itu.
Perasaan ini kok tiba – tiba muncul ya.  Perasaan dag dig dug saat aku sama Dion. Tapi perasaan ini berbeda dengan yang aku rasakan sama Mas Danar.
“Assalamualaikum..” seruku dari depan pintu.
“Walaikumsalam..” jawab ibu dan adik – adikku.
“Sholat terus makan Kia.” Seru ibu dari dalam kamar adik – adikku.
Sampai saat ini aku tetap menjadi anak kesayangan ibu. Mas Anjar dan Mas Danar ku kalahkan dengan pesonaku. Mungkin karena aku anak gadis ibu dan yang paling bontot. Jadi ibu menaruh simpati kepadaku jauh lebih dalam.
3 Tahun yang lalu adik – adik ku dititipkan di rumah ini. Karena rumah panti asal mereka digusur dan dijadikan minimarket. Pemiliknya yang lama kekurangan dana untuk membiayai penyakit komplikasinya. Pengurus panti yang lama sedang mengusahakan rumah panti yang baru untuk mereka. Namun dalam waktu 3 tahun rasa sayangku kepada mereka hari demi hari meningkat. Aku lah yang memberi nama rumah ini Panti Asuhan Kasih Ibu.
Kabar gembira sekaligus menyedihkan untukku. Kabarnya sebentar lagi adik – adikku akan segera dipindah ke rumah panti yang baru. Mungkin dalam waktu 2 minggu ini. Begitu berat rasanya selama 3 tahun mengemban tugas sebagai kakak. Namun harus berkahir dalam waktu 2 minggu.
Aku banyak belajar dari mereka dengan arti kehidupan sebenarnya. Dari mereka ada yang sepertiku tidak mengenal ayah dan ibunya. Ada yang mengalami kekerasan anak. Ada yang dipisahkan dari orang tua kandungnya. Namun mereka pernah berucap bahwa tinggal di rumah ini bersama aku, ibu dan kedua masku membuat mereka tak ragu lagi melangkah ke depan.
aku terus menanamkan kepada mereka untuk tidak menyerah kepada keadaan. Mas Anjar sekarang sukses menjadi wirausaha rumah makan yang cukup menguntungkan. Bisa kembali ke Bapaknya dan mewujudkan mimpi Bapaknya untuk melihat Mas Anjar sukses. Mas Danar yang sudah kehilangan kedua orang tuanya. Sekarang pun dia sukses menjadi seorang teknisi hebat. Aku yang tidak mengenal ayah dan ibuku, dibesarkan oleh seorang kakek renta dan hidup dalam kemiskinan berhasil meraih prestasi dan beasiswa.
Matahari itu ku lihat mulai beristirahat. Muncul bulan separuh yang ditemani bintang – bintang di langit. Keadaan begitu gemeriyuh mendengar canda tawa adik – adikku tercinta.
“Assalamualaikum..” ada suara dari luar menyapa.
“Walaikumsalam..” aku keluar rumah.
Ku lihat ada 2 orang pria beda usia. Mas Anjar. Aku langsung berlari memeluknya.
“sudah gendut. Kamu berat. Jangan bergelayutan seperti itu.” Ucap mas Anjar terbata – bata karena sepertinya aku memeluknya terlalu kencang.
“hehe. Ih aku lupa kamu kan panu an.” Sesegara aku melepaskan rangkulanku.
“eh. Enak aja. Kamu kali yang kudisan. Kamu kan gak pernah mandi. Mana keteknya bau lagi. Masih aja kecil. Kapan kamu gedenya?” ujar mas Anjar menjengkelkan.
“Ibu, mas Anjar datang.”teriakku. “Mari pak. Masuk. Kamu tu panuan. Kamu di luar aja.” Godaku.
“sini kamu. Dasar kecil. Gendut. Gak ada cantik – cantiknya.” Ucap mas Anjar sambil mencoba mengejarku.
Tak berapa lama ibu dan mas Danar keluar menuju ruang tamu. Ku lihat raut wajah ibu yang begitu merindukan Mas Anjar.
“Anjar.” Ucap Ibu dengan halus.
“Ibu.” Jawab mas Anjar yang langsung memeluk Ibu.
Tak disangka sudah 2 jam kami bercengkerama. Sudah saatnya Mas Anjar pulang. Aku sama Mas Anjar memang seperti Anjing dan Kucing. Mas Anjar tidak pernah mau mengalah denganku. Namun lepas dari semua itu aku yakin Mas Anjar adalah pribadi yang dewasa. Dia sekarang sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Dia membelikanku gaun pesta buat nanti ulang tahunku yang ke tujuh belas katanya.
Setelah mas Anjar pulang. Ibu masuk kamar dan beristirahat. Aku yakin kasih Ibu yang tulus kepada kami anak – anak angkatnya. Akan mendapat balasan yang istimewa dari Tuhan pastinya.
“trrrrrrr...trrrrrrrrr...trrrrrrrrrrr...” getar hapeku yang ku simpan di sakuku.
“Aduh, Dion. Ada mas Danar lagi. Nanti kalo mas Danar cemburu gimana ya ?” seruku dalam hati.
“Mas Danar. Ini Vera kok yang telepon mau curhat. Aku gak telepon cowok kok mas. Aku masuk kamar dulu. Ya..” ucapku dengan gugup..
“haa..?” mas Danar bingung.
Dua minggu itu pun datang, saatnya aku mengucapkan selamat tinggal untuk adik – adikku. Berat untuk melepas mereka pergi. Tangis mereka membuatku tak berdaya.
“ssssttt. Sudah ah gak usah nangis. Kak saskia sama ibu sama mas Danar masih tinggal di sini. Kalau kalian kangen datang aja. Nanti kalau kakak ada waktu kakak akan samperin kalian kakak janji. Udah ya jangan nangis. Kalau kalian nangis. Ibu juga nangis tu lihat,” ucapku sambil menunjuk ibu yang tak kuasa lagi memendam perasaan sakit hatinya kehilangan 9 anak yang dia cintai selama 3 tahun ini. “yang penting ingat kata – kata kakak yaa. Jangan menyerah dengan keadaan. Letakkan cita – cita kalian setinggi lagit di angkasa. Terus berusaha untuk menggapainya. Kalian punya orang – orang hebat di sekeliling kalian. Meskipun kalian tidak memiliki orang tua. Ok ?” pesanku yang membuat mereka lebih tenang,
“Fatia mau disini sama kak Saskia.” Ucap adik kecilku itu dengan suara khasnya.
Benar benar susah untuk melepas mereka. Aku pun berlutut. Ku buka tanganku lebar – lebar dan membiarkan mereka memelukku. Mereka pun akhirnya pergi. Kami bertiga melepas kepergisn mereka. Keadaan rumah kembali seperti tiga tahun yang lalu begitu sepi, rasanya sangat aneh. Biasanya ada aku dan Mas Anjar yang selalu bertengkar dan membuat gaduh rumah ini. Tapi sekarang Mas Anjar memutuskan untuk pergi dan tinggal bersama bapaknya.
“Kia, tau gak kenapa ibu mau adopsi kalian semua?” tanya ibu dengan wajah yang mulai pucat dan keriput.
“ya karena Ibu baik, ibu sayang sama kita.” Jawabku dengan yakin.
“umm, itu juga benar tapi yang lebih penting adalah ketika ibu sudah semakin tua ibu tidak sendirian.” Jawab ibu dengan memandangku dalam – dalam.
Brrrrrrrrrrrm .... brrrrrrrrrrrrrrrmm................
Suara motor dion menggelegar di luar rumah. Aku segera berlari dan mencium ibu dan mas Danar. Saat ini hubunganku dengan Dion semakin dekat. Mas Danar pun sudah mengenalkan calon istrinya kepada ibu. Patah hati sih. Tapi aku harus mengambil nilai positifnya. Karena dengan ini aku akan memulai kisah cintaku dengan Dion.
“Cantikk,, aku dengar bulan depan kamu mau ke Jepang buat pertukaran pelajar ya?” tanya Dion sambil terus mengendarai motor besarnya.
“Iya sih. Tapi ibu gak punya uang sebanyak itu untuk kasih modal aku ke Jepang.” Jawabku.
“Bukannya kamu hanya dibebani 30% dari total biayanya?”
“30% itu tetap besar buat ibuku, Dion.”
“umm, gto ya. Ya udah deh biar aku yang ke ajepang aja ganti’in kamu. Gimana ?”
“yaudah terserah kamu.” Jawabku sedikit kesal.
Sesampainya di sekolah aku langsung turun dan masuk ke kelas.
“kamu kenapa Kia?” tanya Vera.
“Cowok macam apa tu. Masak mau ngrebut prestasti ceweknya?” jawabku dengan cemberut.
“maksudmu siapa? Dion? Emang kalian sudah jadian? Tanya vera menyudutkanku.
“belum belum lah.”
“abis kamu juga gitu biarin aku yang bayarin kamu ke Jepang. Kamu gak mau.”
“aku gak enak ngrepotin kamu terus Ver.”
Dari kejauhan Dion mulai menampakkan batang hidunganya.
“Cantik, kamu marah ya? Aku Cuma bercanda kok kia,” rayu Dion kepadaku. “Ntar, abis pulang sekolah kita urus passport kamu ya.”
Aku terdiam tidak berkata. Di pikiranku aku hanya ingin memeluknya dan mengucapkan terima kasih banyak Dion Setibanya di rumah.
“makasih ya Dion. Aku gak tau diri ya?”
“gak kok cantik. Aku Cuma ingin lihat kamu senang. Kamu bisa raih cita – cita kamu selama ini.” Jawab Dion sambil memegang tanganku.
Wajahnya begitu dekat, semakin dekat. Apakah ini akan menjadi ciuman pertamaku. Aku coba untuk santai meskipun jantungku serasa seperti meletus. Kupejamkan mataku. Dingin mulai mengalir dari kaki sampai ke ubun – ubun. Waktu serasa berhenti berdetak. Semakin dekat wajahnya denganku. Kurasakan hembusan nafas dari hidungnya. Wajahnya benar – benar sudah berada di depanku saat ini.
“Kia, sudah malam. Suruh Dion pulang.” Teriak Ibu dari dalam.
Ku buka mataku dan ku lihat wajahnya yang memerah. Dan kami pun tertawa terbahak – bahak. Konyol banget sepertinya.

- Tunggu selanjutnya -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar