Kamis, 19 Maret 2015

Cerita Kedua

“emm. Yaudah ya Dion. Aku masuk dulu. Makasih ya buat semuanya.” Dalam hati benar – benar aku ingin memeluknya. Ku lepaskan tangannya, dan mulai masuk ke rumah. Sesampainya di depan pintu rumah aku berbalik dan melambaikan tanganku ke arahnya. Segera dia menghidupkan mesin dan kemudian pulang.
“Ibu tidak suka kamu pacaran dulu, Kia. Kamu masih 15 tahun. Belajar dulu, jangan pacaran.” Kata Ibu yang sedang asyik dengan sulamannya yang sudah hampir selesai.
“Kia nggak pacaran kok bu. Dion Cuma temen Kia.” Jawabku sambil jalan masuk ke kamar.
“Teman tapi ehem.” Canda Mas Danar.
“Apa sih mas? Gak lho bu.” Jawabku yang kemudian masuk kamar untuk berganti pakaian.
“Kia, bagaimana dengan rencana pertukaran pelajarmu ke Jepang? Jadi ?” tanya ibu saat kami bertiga sedang sarapan di meja makan.
“Maaf ya Kia, Mas ndag bisa bantu kamu. Mas ini juga lagi pusing mikirin pernikahannya Mas.” kata Mas Danar.
“Nggak apa kok Mas, Bu. Dion sudah bersedia membantuku. Ayahnya yang akan membiayai 30% biayanya bu.” Jawabku.
“benar Kia? Tapi Dion tidak memaksa Ayahnya kan ?” tanya Ibu tak percaya.
“Nggak, Bu. Dion hanya cerita masalah ini sama Ayahnya. Dan ayahnya dengan senang hati mau mebantuku. Bahkan passportku hari ini bisa aku ambil. Maaf aku belum sempat cerita sama Ibu sama Mas Danar. Soalnya baru kemarin Dion mengajakku buat passprotnya.” Jawabku.
“Alhamdulilah ya, Nak. Kamu dijemput Dion hari ini?” tanya Ibu bersemangat.
“Iya Bu.” Jawabku.
“jangan berangkat dulu. Suruh dia nemuin Ibu.” Jawab Ibu.
Tak lama kemudian. Suara motor Dion pun terdengar. Perasaan tak tentu mulai terasa kembali. Ingatanku kembali pada peristiwa malam itu. Siap tidak siap aku harus menemui dia. Ku langkahkan kakiku keluar rumah. Perasaan bahagia bercampur dengan rasa gelisah yang luar biasa. Sepertinya ini cinta.
“Emm, Dion. Kamu dipanggil ibu. Ibu ingin bicara sama kamu sebentar.” Kataku sambil terbata – bata.
“Kenapa ya Cantik? Haduh apa gara – gara semalam?”
“astaga..” teriakku dalam hati. Dia masih mengingatnya. Mukaku mulai memerah.
“Nggak tau lah. Pokoknya kamu dipanggil. Sana buruan.” Kataku sambil mendorongnya menuju pintu rumah.
“Kia, mas berangkat dulu ya.” Ucap mas Danar yang sudah rapi siap berangkat ke tempat kerjanya. “Kamu sudah besar ya Dion? Lama aku gak liat kamu ke sini. Kalo pacaran yang bener. Jagain adikku, jangan dinakalin.” Kata Mas Danar yang membut tingkahku menjadi kalang kabut.
“Apaan sih Mas Danar. Sudah berangkat sana. Telat telat.” Segera ku cium tangannya dan mendorongnya menuju motornya.
“Siap Mas. Habis lulus mau langsung tak lamar pokoknya. Hahaha.” Jawab Dion sambil setengah bercanda kepada Mas Danar.
“Hih, kamu juga apa – apaan? Main lamar – lamar aja. Emang aku mau sama kamu? Idih pede banget.” Jawabku yang berusaha menyembunyikan perasaanku yang sesungguhnya. “sudah masuk sana. Sudah ditungguin ibu.”
“Dion, ibu terima kasih sekali. Kamu dan keluargamu begitu baik sama saskia. Tapi Ibu belum tentu bisa balas kebaikanmu dan keluargamu lho Dion.” Kata Ibu sambil menepuk bahu Dion yang kekar itu.
“Tidak apa kok, bu laela. Ayah dengan senang hati bantu saskia. Saskia kan anak yang pintar. Dia pantas mendapatkan ini semua, Bu. Lagipula saya juga tidak ingin ke Jepang sendiri.” Jawab Dion yang membuatku kaget bukan kepalang.
“Dion juga ikut ke Jepang?” kagetku dalam hati. Rasa senang yang luar biasa tiba – tiba datang dan membuat rona merah di kedua pipiku.
“Lho, Ibu kira hanya Saskia saja yang ke Jepang. Kamu juga ya?” tanya Ibu.
“Iya kok Ibu. Juara 1 dan 2 yang akan menerima pertukaran pelajar ke Jepang.” Jawabnya yang sudah mulai cemas, karena jam sudah menunjukkan pukul 6.45.
“Yasudah. Begitu saja Dion. Salam buat Ayahmu. Besok – besok kalau ada waktu Ibu akan meluangkan diri ke rumahmu ya Nak.” Jawab Ibu. “sudah sana berangkat keburu telat.”
“Iya bu. Assalamaualaikum.” Ucapku dan Dion bersamaan.
Setelah ku cium tangan Ibuku yang sudah mulai renta itu. Aku segera berlari menuju Dion. Aku masih penasaran apakah benar kita akan berangkat ke Jepang bersama – sama.
“Eh, kamu kok gak bilang sama aku kalau kamu juga mau ke Jepang?” tanyaku terus mendesak.
“Sudah jawabnya nanti aja, keburu terlambat. Cepat naik.” Jawabnya terburu – buru.
Sesampainya di kelas aku langsung menghampiri Vera bagaikan singa yang ingin menerkam mangsanya.
“kamu tahu masalah Dion juga mau ke Jepang juga gak sih Ver?” tanyaku kepada Vera penasaran saat kita sedang menghabiskan jam istirahat di kantin.
“ha? Masa sih? Aku gak tau, Ki. Aku baru tahu malah. Bohong tu dia. Kata Pak Setya kan hanya satu yang berhak ikut pertukaran pelajar ke Jepang. Yaitu yang juara umum kan? Baru kalau dia tidak bersedia bisa diturunkan ke Juara dua,” jawab Vera sambil mengunyah siomay yang sudah hampir habis.
“haduh. Dasar anak papa. Pasti dia merengek sama ayahnya biar bisa ikut ke Jepang sama aku tuh.” Jawabku dengan kesal sekaligus senang. “tapi yasudahlah. Aku malah ada teman di sana.”

Hari itu pun datang. Untuk jangka waktu satubulan ke depan aku akan berada di Jepang untuk melakukan pertukaran pelajar. Siapa yang sangka anak yatim piatu yang diasuh oleh seorang istri purnawirawan bisa naik pesawat pergi ke Jepang ditunjuk oleh sekolah untuk menjadi perwakilan pertukaran pelajar. Mungkin Tuhan sedang memberi ku ganti dari apa yang tidak aku miliki kala aku kecil.
“Hati – hati ya, nak. Ibu selalu medoakan keselamatanmu. Kamu jangan khawatir Mas Danar nemenin Ibu di rumah. Jangan lupa sering – sering kasih kabar ke Ibu. Ibu akan merindukanmu.” Kata Ibu yang sudah mulai meneteskan air mata.
Ku peluk ibuku erat. Bahkan satu kata pun tidak bisa keluar dari mulutku. Ibu sangat menyayangiku. Hingga aku lupa akan kasih sayang seorang Ibu kandung.
“Dion akan jaga saskia, Bu. Ibu jangan khawatir.”kata Dion sambil merangkulku yang sudah mulai menangis sejadinya – jadinya.
“Kia sayang Ibu. Satu bulan akan terasa lama kalau tidak ada Ibu. Kia janji akan sering – sering hubungi Ibu.” Kataku dengan meyakinkan Ibu kalau aku akan baik – baik saja selama di Jepang. “Om,terima kasih banyak buat bantuannya ya Om, entah bagaimana Kia membalasnya.” Kataku kepada Ayah Dion yang begitu baik kepadaku sejak aku masih kecil.
Dion memang anak papa. Sejak kecil Ibu Dion telah pergi meninggalkan Dion entah kemana. Jadi kehidupan Dion hanya berdua dengan ayahnya. Papa Dion mengetahui seberapa besar keinginan Dion untuk bisa bersamaku. Bahkan pernah suatu hari Ayah Dion datang ke panti untuk melamarku untuk Dion. Namun saat itu usiaku masih 12 tahun lagipula Ibu menilai bahwa hal itu adalah hal terkonyol. Dan akan membuat masa depanku tidak menjadi apa yang ku mau.

“Mas Anjar bukain pintu. Sepertinya ada tamu di luar.” Teriakku dari dapur sambil membantu Ibu menyiapkan makan malam.
“aku lagi sibuk ah.” Jawab Mas Anjar yang sedang sibuk mengerjakan PR dengan mas Danar.
Dengan kesal aku pergi ke pintu depan. Tak lupa aku menghampiri Mas Anjar hanya untuk memukulnya. Aku dengan Mas Anjar memang tidak pernah akur. Beda dengan Mas Danar yang selalu mengalah.
“wuu. Malesss..” kataku sambil menarik rambutnya.
“Dasar manja. Awas kamu!!!” teriak mas Anjar yang berusaha mengejarku.
“Ibu, Mas Anjar nakal.” Jawabku menghindar.
“Kia, jangan  nakal sama mas mu. Sudah sana bukain pintu. Keburu orangnya pergi.” Teriak Ibu dari dapur. “Sudah, Njar. Adikmu memang nakal. Belajar lagi sana.”
“weeekk” ejekku kepada mas Anjar yang sudah mulai kesal dengan tingkahku.
Segera ku berjalan ke arah pintu dan membuka pintu.
“Assalamualaikum.” Salam seorang Pria baya dengan pakaian rapi berdasi. Ku lihat mobil terpakir di halaman rumah. Aku rasa pria ini adalah orang kaya.
“Walaikumsalam. Silakan masuk Pak. Saya panggilkan Ibu dulu.” Segera aku masuk ke dapur.
“Ibu, ada tamu orang kaya. ibu jangan biarkan aku apa mas Danar diadopsi Bapak itu, Bu. Kia ndag mau. Mas Anjar saja gak apa Bu. Hehe” kataku sambil nyengir.
“Hush, ngawur kamu.” Kata ibu yang kemudian berjalan keluar. “Lanjutin goreng tempenya sana itu.”
“Iya Bu.” Jawabku.
Setelah ibu keluar. Aku mematikan kompornya dan mengendap – endap di balik tembok untuk meenguping pembicaraan Ibu. Bukan karena aku kurang ajar. Tapi aku tidak mau kejadian waktu ada seorang Bapak yang hendak membawaku ke Jakarta itu terulang. Tapi aku percaya bahwa Ibu tidak akan melakukan hal tersebut.
“Asalamualaikum, Bu.” Salam bapak itu berdiri dan mengulurkan tangan kepada Ibu.
“Walaikumsalam.” Jawab Ibu membalas salam Bapak tersebut. “silakan duduk, Pak. Maaf, bapak siapa? Ada perlu apa datang kemari, Pak?” tanya Ibu sambil duduk.
“Begini Bu. wah saya tidak enak sebenarnya ini. Jadi kedatangan saya kemari sebenarnya atas kemauan anak saya satu – satunya, Bu. mungkin ini terdengar tidak masuk akal. Tapi saya hanya memiliki satu anak. Dan saya sangat menyanyangi putra saya.” Jawab Bapak itu.
Pikiranku semakin tidak menentu. Apakah benar – benar ada salah satu diantara kita yang akan diadopsi  oleh Bapak tersebut atau bapak tersebut akan menitipkan anaknya di rumah ini juga.
“Lalu pak?” tanya Ibu menyadarkan lamunanku sejenak.
“Jadi itu anak saya yang baru berusia 12 tahun. Namanya Dion, dia tertarik sama anak perempuan Ibu yang bernama Saskia. Dia terus membujuk saya agar bisa membuat dia bisa selalu sekelas dan sebangku dengan saskia. Ya karena saya begitu menyayanginya. Satu pun keinginannya tidak ada yang tidak bisa saya penuhi, Bu. jadi saya harus ke sekolah untuk bicara dengan pihak sekolah dan memalukan diri saya sendiri untuk anak satu – satunya yang saya miliki tersebut. Sama dengan saat ini. Anak saya meminta saya menemui Ibu dia merengek agar saya bisa membuat Saskia untuk bisa menyukai anak saya. Tuh anak saya ada di mobil.” Jawab Bapak itu setengah tidak enak sambil menunjuk mobil yang ada di luar tersebut. “saya sudah mencoba memberi pengertian anak saya kalau dia masih kecil tidak sepantasnya seperti itu. Tapi dia bilang, yasudah Pa. Minta Ibunya Saskia buat jaga Saskia buat aku. Biar besok kalau aku sudah besar, aku bisa sama Saskia. Entah apa yang dipikarannya Bu. tapi saya tidak bisa bilang tidak sama anak saya tersebut.”
Kaget yang bukan kepalang. Rasa kagum sama Bapak tersebut tiba – tiba hilang dan aku langsung membayangkan muka Dion yang selalu merengek untuk bisa terus sama aku.
“Aduh Bapak. Bukannya gimana – gimana, tapi mereka berdua kan masih kecil. Tidak sewajarnnya kalau Bapak melamar Saskia untuk anak Bapak. Tapi saya hargai kedatangan Bapak ke sini. Saya akan coba berbicara dengan anak Bapak. Setidaknya dia tahu bahwa ayahnya sudah menepati janjinya untuk datang kemari dan menemui saya. Mari pak saya ingin berbicara dengan anak Bapak.” Jawab ibu yang kemudian berdiri keluar ke arah mobil tersebut.
Entah apa yang mereka bicarakan. Setelah itu mobil itu pergi dan Ibu masuk kembali ke dapur. Karena tidak ingin aku ketahuan menguping, aku segera kembali ke dapur untuk menggoreng tempe tadi yang sempat ku tinggal. Ibuku pun tidak membahas hal tersebut dan aku juga tidak menanyakan apapun tentang hal itu.

“Ayo, Kia. Aku gak mau kita ketinggalan kereta, terus ke Jakarta jalan kaki gitu. Gak masalah kalau kamu yang mau gendong.” Ajak Dion yang seketika mengangkat kembali semangatku untuk pergi ke Jepang.
Ku cium tangan Ibu, Mas Danar, guru pembimbing dan Om Wira. Aku pergi melangkah ke dalam stasiun keberangkatan. Ku balikkan badanku dan melambaikan tanganku ke arah mereka. Dion menggandengku dengan erat. Ku lihat matanya ada keyakinan bahwa kita berdua akan baik – baik saja berada di sana. Seluruh perlengkapan yang ku perlukan telah dipersiapkan Vera. Bahkan termasuk jaket yang saat ini ku pakai. Namun hari ini dia tidak bisa mengantar kepergianku karena Dia harus menghadiri pesta pernikahan saudaranya di Surabaya.
Kami berangkat ke Jepang melalui Jakarta. Dari pekalongan kita naik kereta ke Jakarta lalu ke Bandara untuk terbang menuju Jepang. Ini adalah kali pertama aku berpergian jauh seperti ini. Bahkan melihat Jakarta pun hanya satu kali yaitu pada saat study tour waktu SMP.         
Perjalanan panjang Indonesia Jepang membuat aku jet lag. Delapan jam berada di pesawat membuatku bahagia sekaligus lelah. Sesampainya di Jepang kami langsung menuju KBRI di Tokyo. Di sini kami akan tinggal bersama keluarga Heitachi Taigichi dan Mitsumi Kurokawa. Mereka adalah saudara yang akan menemani kami selama satu bulan ke depan di Jepang.
Ohayo gozaimasu. Watashi wa Heitachi Taigichi. Hajimemashite. Doumo arigatou onegaishimasu.” Kata seorang laki – laki muda seusia kami sambil membungkukkan separuh badannya.
“Apa yang dia bilang, Kia? Aku gak ngerti sama sekali.” Tanya Dion kepadaku.
Doumo. Watashi wa Saskia Ananda. Arigatou gozhaimasu.” Jawabku.
“Astaga. Bakal kayak orang blo’on aku di sini.” Kata Dion dengan muka bingungnya.
“Makanya kalau gak bisa bahasa Jepang gak usah sok sok an ikut segala. Hahaha.” Jawabku dengan tawa ejekan kepadanya.
“Isss. Kamu ini.” Jawab Dion cemberut.
I’m so sorry if my brother make you confuse. You can talk with us by English.” Jawab perempuan Jepang tersebut. “My name is Mitsumi Kurokawa. Nice to meet you.”
“Alhamdulilah. Hello, nice to meet you too. My name is Diondi Pratama.” Jawab Dion dengan senyum lebarnya yang terlihat sangat lega karena dia akhirnya tidak merasa seperti orang bodoh di sini. Meskipun aku juga sama – sama tidak terlalu banyak mengerti bahasa Jepang.
Setelah kami bertemu dengan duta besar Indonesia di sana dan berbincang dengan dua teman Jepang baru kami. Setelah makan siang dan mengurus semua keperluan kami selama di Jepang. Kami segera menuju rumah singgah kami yang ditempati Kurokawa dan Taigichi.
Rumah yang kami tempati tidak begitu besar dan sepertinya bukan rumah permanen yang terbuat dari tembok. Seperti yang saya baca di internet di Jepang rumah dibuat tidak permanen karena di Jepang rawan gempa. Rumah tingkat dua yang minimalis ini terlihat bersih dan rapi seperti rumah – rumah yang aku lihat di kartun Doraemon dan komik – komik yang sering aku baca.
“Selamat datang. Apa kabar?” Sapa seseorang wanita jepang setelah membukakan pintu untuk kami. Ternyata beliau adalah ibu dari Mitsu Chan (Panggilan untuk mitsumi kurokawa). Beliau belajar bahasa Indonesia lewat internet untuk menyapa kami.
“Baik. Terima kasih.” Jawab Dion dengan cepat tanpa mempedulikan ibu tersebut yang kebingungan.
“I’m sorry I just learn Bahasa and only selamat datang and apa kabar that I know. Hehehe.” Jawab ibu tersebut dengan tersenyum malu.
“Hahaha. Yes we  know maam. We are good, thank you.” Jawabku dengan tertawa kecil.
“Okay. Come in. You must be tired after your long trip.” Ajak ibu tersebut.
“yes we are maam.” Jawab Dion yang tidak bisa menyembunyikan rasa kantuknya karena kelelahan selama di perjalanan.
“Hita, bring Dion to rest in your room. Saskia, you sleep with Mistumi, okay?”
(Hita panggilan untuk heitachi)
“Yes maam.” Jawabku.
Kami lalu ke kamar kami masing – masing yang telah diatur oleh Nonya Hinagana, orang tua hita chan dan mitsu chan. Di kamar aku bercerita mengenai hidupku yang yatim piatu dan dibesarkan oleh seorang ibu yang baik hati. Mitsu chan mendengar ceritaku dengan sungguh – sungguh dan mengatakan bahwa aku gadis yang beruntung.

Selama aku di Jepang aku hanya dua kali menghubungi ibuku karena tarifnya sangat mahal. Tak terasa satu bulan kami di Jepang dan kami merasa sangat bahagia dan antusias untuk kembali ke Indonesia dengan membawa sejuta cerita. Kami disibukkan dengan acara sekolah dan liburan akhir pekan dengan keluarga Hinagana.
Aku meninggalkan panti asuhan dan pergi ke Surabaya. Karena aku diterima oleh sebuah perusahaan Jepang yang ada di sana. Walaupun hanya sebagai staff tapi aku sangat bahagia karena pada akhirnya aku bisa mendapatkan uang hasil jerih payahku sendiri. Dengan prestasiku waktu SMA aku dikirim ke Jepang itu membantuku dengan mudah ditermia di perusahaan ini. Meskipun aku tidak tega meninggalkan ibuku yang semakin tua. Namun aku yakin ibuku pasti juga akan bangga padaku.
Setelah mendengar aku akan bekerja di Surabaya. Mas Danar berencana mengajak istrinya untuk tinggal bersama ibu. Mas Anjar pun berjanji akan semakin sering mengunjungi ibu. Jadi aku lebih tenang dengan pekerjaanku nanti di sana. Beruntung aku memiliki kakak- kakak yang begitu perhatian. Meskipun kita semua berbeda darah daging tapi kami saling menyayangi satu sama lain.
“Hai. Maaf, sudah lama menunggu.” Sapa Dion yang datang menemuiku di stasiun sebelum keberangkatanku menuju Surabaya.
“Hai. Aku juga baru saja sampai.” Jawabku dengan senyum yang ku paksakan. Mataku sembab karena tangisanku meninggalkan ibu. Sekarang aku harus menangis karena harus berpisah dengan Dion dan Vera.
Dion danVera mereka sama – sama berhasil masuk ke univrsitas yang mereka inginkan. Dion berhasil masuk di Jurusan Teknik Pertanian ITB dan Vera berhasil masuk di Jurusan Kedokteran UI. Mereka sungguh sangat beruntung.
Saat ini Vera sudah berada di Jakarta karena sebentar lagi dia harus mulai kuliah. Dion baru akan berangkat besok untuk menuju Bandung. Dan aku sendiri menuju Surabaya. Kami berpisah untuk jangka waktu yang cukup lama. Mungkin mereka akan pulang ke Pekalongan enam bulan sekali waktu libur akhir semester.
“Apa kamu baik – baik saja?” Tanya Dion sambil mengadahkan mukaku dengan mengangkat janggutku dengan jarinya yang masih terasa lembut.
“Hmm. Iya aku baik – baik saja. Hanya tadi aku sangat sedih harus meninggalkan ibu.” Jawabku menyingkirkan tangannya di janggutku yang kemudian ke pegang tangannya erat – erat. “Aku juga sedih harus berpisah denganmu.” Terusku yang kemudian air mulai menetes dari mataku.
“Kita akan baik – baik saja. Percayalah.” Jawab Dion menenangkanku. “aku akan sering meneleponmu. Kita juga bisa menggunakan skype. Meskipun aku juga akan sangat merindukanmu, Cantik.”
“Sudah lama kamu tidak memanggilku Cantik.” Jawabku sambil tersenyum meskipun hati masih terasa sakit.
“Cantik, cantik, cantik, cantik” goda Dion untuk menghiburku.
“Cukup Dion.” Teriakku sambil tersenyum lebar.
“Nah gitu dong. Senyummu itu yang membuatku semangat.” Kata Dion dengan menempelkan kedua tangannya di pipiku.
#teng teng teng teng. Jalur 1. Jalur 1 akan kedatangan Kereta Api Argo Anggrek dari Stasiun Gambir Jakarta menuju Stasiun Turi Surabaya. Bagi penumpang yang akan memiliki tiket silakan segera memasuki kereta. Saya ulangi …#
“Hei. Keretamu sudah datang.”
“iyaa. Keretanya sudah datang.” Dion melepaskan tangannya dari pipiku. Dia tersenyum dan membantu mengangkatkan barangku.
“Kamu bisa membawanya sendiri?”Tanya Dion.
“Iya aku bisa. Daah.” Ku ambil barang – barangku dari tangannya. Dan bergegas menuju peron.
Aku tak tahu apa yang ku rasakan. Hatiku benar – benar hancur. Ada rasa sakit di dada. Tak kuasa air mata pun mengalir. Ku letakkan semua barang –barangku. Aku memutar badanku berlari menuju Dion yang dari tadi berdiri memandang kepergianku. Aku melompat ke arahnya. Mencium tepat di bibirnya, tak peduli orang mau berpikir apa. Bahkan aku berpikir di situ hanya aku dan Dion. Setelah aku melepas ciumanku. Aku memeluknya dengan erat, entah untuk berapa lama.
“Sayang, kamu akan ketinggalan kereta. Aku berjanji akan mengunjungimu jika waktuku tersedia. Aku sangat menyayangimu.” Kata Dion.
“Iya maafkan aku. Aku merasa akan sangat jauh pergi darimu seperti kita tidak akan bertemu lagi. Ku mohon tetaplah memikirkanku.” Jawabku sambil menangis tersedu – sedu.
“Iya aku berjanji. Sekarang cerialah, sambut masa depanmu sayang. Aku akan menunggumu dan kita akan bersama sama lagi.”
“Iya. Aku sangat menyayangimu.” Kulepaskan pelukanku dan kuusap air mata dan ingusku yang mengalir di mana – mana.
“Hei. Hati – hati.” Kata Dion yang kemudian mencium keningku.
Setelah karcisku diperiksa aku berjalan menuju kereta. Aku sempatkan menengok ke belakang dan melihat Dion yang mengusap matanya. Dion yang aku kira cukup tegar ternyata Dia bersedih karena melepaskanku.
 

Di dalam kereta wajah ibu, wajah Vera dan wajah Dion terngiang di kepalaku. Orang – orang yang sangat berharga dalam hidupku. Tanpa mereka mungkin aku tidak akan ada di sini. Teringat kenangan – kenangan penting dalam hidupku. Salah satunya saat menjelang ujian kelulusan sekolah.
“gak terasa sebentar lagi kita akan ujian, kita akan lulus, kuliah, kerja, menikah, punya anak, waahhh cepat sekali.” Kata Vera dengan mata yang berbinar – binar membayangkan masa depannya.
“mana mungkin akan secepat itu Ver. Lulus aja kita belum. Mending belajar dulu deh baru mikir yang lain – lain.” Jawabku.
“ahh iya hasil try out ku jelek terus. Bantuin kek Ki.”
“Bantuin belajar oke oke saja. Bantuin jawab maleeess.” Godaku.
“Wuu, teman tiri.”
“Iya aku bantuin. Habis tambahan nanti ke rumah ya. Kita belajar bareng.”
“Aku ada les Ki. Tapi lebih paham kalau kamu yang jelasin deh Ki.”
“Terserah kamu aja lah. Mau les, apa mau diajarin sama sahabat kamu yang pintar cerdas akurat ini.”
“Kayak acara berita aja pakai ada akurat – akurat segala.”
“Apaan yang akurat?” tanya Dion yang tiba – tiba datang dan duduk di sebelahku.
“Kalian mah enak yang cewek pintar yang cowok juga. Pasangan serasi lah kalian berdua.”
Mendengar kata itu kita berdua sama – sama tertunduk malu. Menyembunyikan muka kami yang sepertinya sama – sama memerah.
“kenapa kalian? Kok malah anteng – antengan seperti itu.” Seru vera.
“Hem apa?” jawabku kaget. “Yaudah mau belajar sama aku apa mau les? Buruan deh, gak usah pakai galau – galau  segala.”
“hari ini aku ikut les dulu aja deh Ki. Baru besok aku belajar sama kamu.”
“Yasudah terserah kamu saja.” Jawabku.
“Ngomong – ngomong gimana hasil ujian masuk ITB mu Dion. Berhasil kah?” tanya Vera yang membuatku memalingkan pandangan ke arah Dion.
“Alhamdulilah aku keterima. Sebenarnya agak berat ninggalin Kia. Aku maunya dia ikut aku ke Bandung. Tapi ya mau gimana lagi. Kia nya susah diajak bicara.” Jawab Dion yang kemudian cemberut.
Memang sebelumnya Dion sempat memintaku mengambil ujian beasiswa ITB tapi aku pikir – pikir kalau aku kuliah aku masih akan memberatkan ibuku. Karena ibu masih harus menanggung biaya hidupku di Bandung yang kemungkinan tidak sedikit. Untuk itu aku putuskan untuk bekerja saja. Dengan begitu kemungkinan aku bisa ambil kuliah sore dan membiayai hidupku sendiri tanpa harus membebani ibuku.
“Sudah dong Dion. Kita kan sudah pernah membicarakannya.” Jawabku sambil ku elus pipinya.
“Duh mesranya. Kangen kak Eka.” Raut muka Vera tiba – tiba langsung berubah seketika.
“Eh iya. Gimana hubungan kalian?” tanyaku penasaran.
“Semenjak kak Eka kuliah di UI. Aku benar – benar berusaha mati – matian untuk bisa masuk ke UI. Tapi itu susah Ki. Andai otakku seperti otakmu.”
“Aku pasti akan bantu kamu Ver. Kamu gak perlu khawatir. Kamu pasti bisa.” Jawabku mencoba menghiburya. Semenjak lulus SMA. Kak Eka ada di Jakarta. Dia kuliah di UI Jurusan Kedokteran. Untuk itu Vera sangat bersungguh – sungguh mengejar kak Eka di sana. Meskipun cita – cita Vera sebenarnya ingin menjadi arsitek.
Namun sejujurnya Vera seperti ini juga karena semenjak kak Eka di sana hubungan mereka menjadi renggang. Kak Eka yang berjanji akan sering – sering menghubungi Vera sering lupa dengan banyak alasan tentang kuliahnya yang mulai sibuk. Entah benar atau tidak tapi aku harus tetap memberi saran positif untuk Vera.
Bel masuk kelas pun berbunyi. Dion kembali ke kelasnya dan Vera kembali duduk di sebelahku setelah selesai memasukkan tempat bekalnya yang baru saja habis dia makan.


“Halo.” Jawabku di telepon. Sesaat setelah aku turun dari kereta.
“Hai. Kamu sudah sampai?” Tanya Dion dengan suaranya yang benar – benar ku rindukan.
“Sudah. Baru saja turun dari kereta. Aku sedang cari taksi menuju ke tempat kerjaku.” Jawabku sambil menarik koperku menuju keluar stasiun untuk mencari taksi.
“Baiklah. Hati – hati di jalan. Kalau sudah sampai tempatmu bekerja. Tolong kabari aku. Kau tahu? Aku sangat mencemaskanmu.” Suara yang kudengar begitu bergetar. Ku kira aku akan menangis lagi.
“Iya. Tolong jangan tutup teleponnya. Aku masih ingin berbincang denganmu.” Jawabku dengan satu tangan melambaikan tangan ke arah taksi yang lewat di depanku. “Aku baru saja masuk taksi.” Kataku di telepon.
“Pak, ke Jl. Bukit duri ya Pak. Gedung perkantoran Ramayana.” Kataku kepada supir taksi. Dengan telepon masih kupegang.
“Iya mbak.” Jawab supir taksi itu dengan aksen surabayanya.
“Hai. Kamu masih di situ?” tanyaku lewat telepon.
“Iya sayang aku masih di sini.” Jawabnya dengan memanggilku sayang benar – benar membuat darahku mengalir lebih cepat.
“Sedang apa kamu di sana?” tanyaku.
“Aku baru mengemas pakaian dan barang – barang yang akan aku bawa. Mungkin ini rasa yang kamu rasakan ketika meninggalkan ibu Laela. Aku pun merasakan betapa sedihnya harus meninggalkan papaku. Kadang aku berpikir kenapa papa gak menikah lagi. Jadi saat aku tinggal seperti ini papa gak akan kesepian.”
“aku yakin papamu akan baik – baik saja. Papamu kan punya banyak relasi dan pekerjaan. Pasti papamu akan sangat terhibur.”
“iya aku tahu.”
Suasana hening beberapa saat. Meskipun telepon masih menempel di telingaku. Ku lihat pemandangan kota Surabaya yang tidak pernah aku ke sini sebelumnya. Tak jauh berbeda dari kota – kota besar lainnya. Tapi aku tetap merasa asing.
Aku menuju tempat dimana nanti aku akan bekerja. Dari sini aku akan menemui Pak Bara yang aku kenal saat aku melamar pekerjaan di tempat ini. Dan dari Pak Bara lah aku akan menemukan tempat tinggalku. Karena semuanya sudah diatur oleh Pak Bara. Bahkan aku sudah didaftarkan untuk mengikuti kuliah khusus karyawan yang ada di Surabaya ini.
“emm, Dion. Sepertinya aku sudah sampai. Nanti aku telepon kamu lagi ya. Akan aku kabari dimana aku akan tinggal. Dan seperti apa teman – temanku di sini.” Kataku.
“Iya. Berhati – hatilah jaga kesehatanmu. Aku sudah mulai merindukanmu.” Katanya menghanyutkanku.
“Aku juga merindukanmu. Bye.” Ku tutup teleponnya dan kemudian berjalan ke pintu depan kantor yang akan menjadi kantorku nantinya.
Ku bawa barang – barangku setelah dibantu oleh supir taksi tadi.
“Taruh di sini saja Pak. Ini uangnya. Terima kasih, Pak.”
“Iya mbak. Ini kembaliannya.”
“Buat bapak saja.’
“Terima kasih mbak.”
“Sama – sama Pak.”
Gedung yang cukup tinggi. Kira – kira ada 20 lantai. Karena ini adalah komplek perkantoran jadi suasanya pun ramai. Tidak hanya dari kantorku saja yang ada di sini. Tapi juga dari perusahaan – perusahaan lain. Dengan sedikit gugup aku langkahkan kakiku mendekati kantor yang bertuliskan NAYATI.
Perusahaanku bergerak di bidang produksi makanan ringan asal Jepang. Di kantor ini adalah bagian dokumennya. Aku bekerja di bagian administrasi antara pabrik dan manajemen perushaan yang akan menghubungkan dengan perusahaan induk yang ada di Jepang.
“Permisi mbak. Saya ada janji dengan Pak Bara.” Tanyaku kepada resepsionis yang sangat cantik. Penampilannya sangat menarik. Dengan rambut diikat rapi. Baju putih dengan jas biru gelap. Make up nya pun sempurna. Ku lihat di tag name nya tertulis nama Amanda.
“Maaf sebelumnya. Nama anda siapa?” tanya Amanda yang membangunkan keterpukauanku akan kecantikkannya.
“Em. Saskia. Saskia ananda. Dari Pekalongan.” Jawabku dengan sedikit gugup.
“Oo anda pegawai baru di bagian administrasi. Silakan mbak. Anda sudah ditunggu Pak Bara. Silakan naik ke lift lantai 11. Nanti di depan lift ada sekretaris Pak Bara yang akan mengantar anda. Dia akan saya hubungi dari sini kalau anda sudah datang.” Kata Amanda dengan percaya diri.
“Iya mbak. Terima kasih.” Ku angkat koperku dan mulai berjalan ke arah lift.
“Mbak Saskia. Kopernya ditinggal di sini dulu sama saya tidak apa – apa mbak. Saya akan menjagakannya. Sepertinya anda terlalu kerepotan jika bertemu pak Bara dengan keadaan seperti itu.
“O iya mbak. Terima kasih banyak.” Setelah meninggalkan koper, aku langsung menuju ke arah lift. Dalam hati aku berfikir “maksudnya apa dengan kata ‘seperti itu’?” setelah di depan lift. Aku melihat diriku di pintu lift yang memantulkan bayanganku. Astaga aku benar – benar kacau. Aku lupa berdandan sehabis turun dari kereta. Padahal perjalanannya cukup panjang untuk sampai di sini. Bahkan aku sempat tertidur di kereta.
Setelah pintu lift terbuka aku masuk dan ada beberapa orang masuk bersamaku. Mereka memperhatikanku dengan seksama. Apa karena penampilanku yang berantakan atau karena mereka asing terhadapku.
Pintu lift terbuka satu per satu orang – orang mulai keluar. Aku keluar di lantai sebelas meninggalkan dua orang pria yang berpakaian rapi berdasi dan jas.
“Selamat siang mbak Saskia.” Kata seorang wanita cantik dengan pakaian yang sama seperti Amanda.
“Selamat siang mbak La la.” Jawabku dengan melihat name tag nya,
“iya mbak. Mari mbak saya antar ke Pak Bara.”
“maaf mbak. Boleh saya ke kamar kecil sebentar.”
“oh iya silakan, mbak jalan terus ke sana lalu belok kiri. Ada toilet di sana. Apa perlu saya antar?” tawar lala yang kelihatannya sangat ramah.
“tidak perlu mbak terima kasih. Saya bisa sendiri.”
Aku berjalan dengan tergesa – gesa karena tidak mau Lala menunggu terlalu lama.
“Braaaak”
Tiba – tiba aku menabrak sebuah papan di depan yang tadinya aku rasa tidak ada. Ternyata itu pintu yang dibuka dari dalam.
“Oh maaf maaf maaf. Astaga anda baik – baik saja?” tanya seorang pria dengan menyingkirkan tanganku yang sedang mengelus kepalaku yang baru saja menghantam benda keras dan terasa nyeri mungkin memar atau sebantar lagi akan berdarah.
“Ehh iya aku baik – baik saja.” Jawabku dengan sedikit nyengir kesakitan.
“Sepertinya dahi anda memar. Mari saya obati dulu di pantry.” Katanya sambil memperhatikan dahiku.
“Terima kasih tidak perlu. Saya sedang ditunggu seseorang. Saya sementara bisa menutupnya dengan rambut poni saya.” Kataku dengan mencoba menarik diri dari pria tersebut. Setelah dia sedikit menjauh. Ku lihat wajahnya ternyata dia cukup tampan. Aku mencari – cari name tag nya ternyata dia sedang tidak memakainya. Jas hitam yang halus pakaian biru dan dasi bermotif garis hitam biru yang sangat pas dengan tubuhnya yang tegap. Perkiraanku usianya sekitar 25 tahun. Dia cukup dewasa dari umurku sekarang yang baru menginjak 18 tahun.
“Heloo..” tanganya menggoyang – goyang di depan mataku mencoba menyadarkanku.
“ehh iya. Maaf pak. Saya harus segera pergi. Permisi.” Ku palingkan wajahku menyembunyikan rasa maluku yang baru saja ketahuan memperhatikan penampilan pria tersebut secara berlebihan.
Segera setelah aku masuk ke kamar mandi. Aku merapikan rambutku dengan sisir yang ku bawa di tas kecilku. Ku lihat dahiku ternyata tidak hanya memar. Tapi sudah bengkak dan merah. Aku tutupi dengan poniku yang panjang menyamping, ku ikat rambutku rapi – rapi dan menggulungnya agar lebih rapi. Ku basuh mukaku dengan air, kukeringkan dan kemudian aku oleskan bedak, sedikit maskara dan lipstik untuk mewarnai bibirku yang kering. Aku mengenal sedikit make up ini dari Vera. Kebetulan kedua kakakku adalah laki – laki dan ibuku bukan seorang wanita yang gemar bersolek.
“Mbak lala saya sudah siap. Maaf menunggu lama.” Kataku.
“Tidak apa – apa mbak. Mari ikut saya.” Kami berjalan menuju ruang dengan pintu kaca yang dilapisi stiker buram berwarna putih. Setelah dibuka, saya melihat Pak Bara duduk di mejanya dan seorang pria duduk di kursi di depan mejanya berbincang dengan Pak Bara.
“Permisi Pak Bara. Tamu bapak sudah datang.” Kata Lala dengan senyum mengembang. Terlihat sekali bahwa Lala sangat terampil dan sudah berpengalaman di bidang pekerjaannya.
“Iya. Halo Kia. Silakan masuk. Mari duduk di sini.” Kata Pak Bara sambil turun dari mejanya dan kemudian berjalan menghapiriku.
“Siang Pak Bara.” Sapaku dengan mengikuti beliau ke arah mejanya.
Aku duduk di samping pria berjas tersebut. Pak Bara duduk di kursi di belakang meja.
“Apa kamu sudah selesai denganku, Tom.?” Tanya pak Bara pada Pria tersebut,
“Sudah, Bar. Tapi sebentar aku masih sibuk disini,” jawabnya sambil terus melihat tablet yang sepertinya dia sedang memainkan sesuatu.
“Sudah sana keluar. Aku ada tamu. Pergi sana.” Kata pak bara kepadanya.
“Oh ada tamu.” Dia mematikan tabletnya dan kemudian melihat ke arahku. Kita saling bertatap muka.
“Hei, ternyata kamu. Bagaimana kepalamu?” dengan cepat tangannya menyambar rambut poniku dan mengangkatnya.
“Aw. Masih sakit tapi tidak apa-apa. Sungguh.” Jawabku sambil mengembalikan rambutku ke bentuk semula.
“Kau apakan dia? Baru pertama bertemu sudah mencelakainya.” Tanya Pak Bara.
“Tadi waktu aku membuka pintu pantry. Tiba – tiba dia menabrak pintu itu. Sudah beberapa kali pintu itu mencelakai orang deh Bar. Kamu musti ganti engselnya biar bisa dibuka ke arah dalam.”
“Iya nanti. Biar aku suruh Pak Eko benerin. Sudah kamu balik ke tempatmu sana. Menganggu saja kalau ke sini cuma cari wifi.”
“Abis di tempatku wifinya kurang kuat. Aku musti protes nih,” jawab pria tersebut sambil berlalu pergi.
Setelah sekitar satu jam aku bersama Pak Bara. Banyak yang dia ceritakan mengenai kantor ini. Termasuk Tomi yang tadi sudah mencelakaiku. Kemudian Pak Bara memberikanku alamat dimana aku tinggal dan memberiku ongkos taksi untuk ke sana. Pak bara mempersilakan aku untuk beristirahat dulu dan besok aku sudah mulai bekerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar